Sabtu, 28 April 2018

Hubungan Hukum dengan keadilan dan kekuasaan, Hukum sebagai pembaruan masyarakat, dan Kekuatan mengikat dari Hukum,

TUGAS
PENGANTAR FILSAFAT HUKUM



                                    NAMA                         : HARIADY PUTRA ARUAN
                                    NIM                            : 1604551150
                                    KELAS                        : A
                                    MATA KULIAH           : PENGANTAR FILSAFAT HUKUM



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
BAB I
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEADILAN
          Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling bertaut yang merupakan “conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum yang selama ini diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang, menjadi titik awal timbulnya masalah penegakan hukum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Adil mempunyai arti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan berpegang teguh pada kebenaran. Sedangkan Keadilan, merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.
            Thomas Aquinas seorang tokoh filsuf hukum alam, mengelompokkan keadilan menjadi dua, yaitu:
1)      Keadilan Umum, yaitu keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
2)      Keadlina Khusus, yaitu keadilan yang didasarkan pada asas kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi tiga, yaitu:
·         Keadilan distributif (justitia distributive) adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
·         Keadilan Komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.
·         Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukannya.
            Antara Hukum dan Keadlian saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tanpa keadilan dapat diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup dikresi yang luas serta tidak ada keterkaitan pada perangkat aturan.

BAB II
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN
hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah kekuasaan. Hukum itu mengatur, mengusahakan ketertiban dan membatasi uang gerak individu.Tidak mungkin hukum menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang mengusahakan ketertiban.
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right” , pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Karena barang yang didapat si pencuri tersebut didapatkan dengan cara melawan hukum.
Sekalipun hukum itu kekuasaan, mempunyai kekuasaan untuk memaksakan berlakunya dengan sanksi, namun hendaknya dihindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan, hukum bagi yang berkuasa. Karena ada bahkan banyak penguasa yang menyalahgunakan hukum, menciptakan hukum itu semata-mata untuk kepentingan penguasa itu sendiri atau yang sewenang-wenang mengabaikan hukum, maka muncullah istilah “rule of law”.
Hal ini tidak lain disebabkan secara implementasi hukum selalu menjadi cerminan dari kehendak pemegang kekuasaan sehingga tidak heran jika orang menganggap bahwa hukum adalah kekuasaan. Apeldorn misalnya mencatat adanya beberapa pengikut paham yang menyatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, seperti kaum sofis di Yunani yang menyatakan bahwa keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat, Leslee mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah UUD yang tertulis yang merupakan secarik kertas melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukan yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasannya. Sebagian pengikut aliran Positivisme menganggap bahwa kepatuhan terhadap hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum merupakan hak orang yang terkuat (Mahfud:2009:21).

BAB III
HUKUM SEBAGAI PEMBARUAN MASYARAKAT ( LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING)
        Fungsi hukum sebagai social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini maka hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru. Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi keputusan-keputusan yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki. Manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan memberikan ancaman pidana, insentip, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dengan perubahan masyarakat disini sangat jelas sekali, oleh karena hukum disini justeru dipanggil untuk mendatangkan perubahan-perubahan didalam masyarakat.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan yang direncanakan oleh warga-warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat dan dalam masyarakat yang sudah kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial.
Mochtar Kusumaatmadja telah mengintrodusir paradigma teori hukum pembangunan, dengan menyebutkan : “Jika kita artikan dalam artian yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”.
BAB IV
KEKUATAN MENGIKAT DARI HUKUM
Seperangkat aturan hukum hadir agar tercipta suatu kondisi yang damai dan tenteram. Bagaimana peranan hukum sebagai stabilisator dalam masyarakat memilki banyak factor. Salah satunya adalah sumber dari mana hukum tersebut berasal.
Ketika membicarakan filsafat hukum kita harus mengetahui definisi dan pengertin dari filsafat hukum. Sodjono Dirjosisworo menyatkn bahwa filsafat hukum adlah pendirian atu penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau Negara tentang hakikat, ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum. 
Terdapat  teori yang menjelaskan dasar – dasar mengikatnya hukum. Antara lain:
1. Teori Teokrasi
A. Langsung
Teori teokrasi langsung menyatakan bahwa manusia, dalam hal ini raja merupakan orang yang ditunjuk oleh tuhan di dunia. Perkembangan teori ini ketika berkembangnya mazhab hukum alam. Raja sebagai orang yang ditunjuk secara langsung oleh tuhan menjalankan perintah langsung oleh tuhan. Tuhan menurunkan seperangkat aturan kepada manusia untuk menjadi panduan dalam hidupnya. Sehingga peran raja hanyalah sebagai phak yang ditugaskan untuk menjalankan aturan hukum dari tuhan.
Ketika manusia memutuskan untuk mempercayai tentan Tuhann ia akan mempercayai ketika dirinya melanggar aturan yang telah diturunkan akan mendatangkan nestapa (neraka). Namun jika manusia mematuhi aturan tuhan akan mendapatkan ganjaran berupa kenikmatan (surga). Hukum ditaati oleh manusia karena manusia menginginkan dirinya mendapatkan kebahagiaan dan menghindarkan pada penderitaan. Raja sebagai penjelmaan tuhan di dunia sehingga apa yang ditetapkan harus ditaati.
B. Tidak Langsung
Seorang raja yang berkuasa di dunia mendalilkan bahwa kekuasaannya sebagai raja karena adanya mandat yang diberikan oleh tuhan. Teori ini berkembang pada zaman Renaissance. Raja sebagai bij de gratie goda (raja atas karunia tuhan). Ini merupakan perkembangan dari teori teokrasi sebelumnya. Para raja menganggap dirinya sebagai aparatur tuhan. Raja diberikan kewenangan untuk membuat aturan hukum yang membatasi hak manusia dan membebankan sebuah kewajiban padanya. Ketika seorang raja membuat aturan hukum harus mendasarkan pada kitab suci yang diturunkan oleh tuhan.
Jika dilihat maka kita akan menemukan kenyataan bahwa adanya hukum juga akan menimbulkan konsekwensi. Ketika seseorang tidak mematuhi aturan yang telah mendapatkan legitimasi ketuhanan dirinya akan dibayang-bayangi oleh hukuman drai tuhan. Sehingga hukum yang ditetapkan oleh raja tersebut dipatuhi sebaga sebuah keniscayaan.
2. Teori Perjanjian Masyarakat
Dasar kekuatan mengikat hukum menurut teori ini adalah adanya kesepakatan (agreement) dalam masyarakat. Pada awalnya manusia hidup dalam ketidak teraturan dan konflik berkepanjangan. Thomah Hobbes sebagai salah satu tokoh ilmu Negara menyatakan pendapatnya yang tentang konflik pada awal periode kebudayaan sebagai berikut :
“Pada Mulanya manusia itu hidup dalam suasana selalu berperang. Agar tercipta suasana damai dan tentram, lalu diadakan perjanjian di antara mereka (pactum unionis). Setelah itu, disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum subjectionis) yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin itu adalah mutlak atau bersifat absolute”
Pandangan yang dilontarkan oleh Hobbes menyiratkan adanya penundukan secara penuh terhadap orang yang ditunjuk sebagai pemimpin. Masyarakat menyepakati adanya persatuan yang diwujudkan dalam sebuah komunitas yang dinamakan Negara. Setelah terbentuk suatu
komunitas diperlukan seperangkat aturan agar menciptakan tata yang adil dan harmonis. Kesepakatan selanjutnya ketika menentukan adanya orang-orang yang dianggap paling kompeten untuk menciptakan hukum. Orang yang ditunjuk ini memiliki kompetensi serta kecerdasan dalam menjalankan tugasnya. Ketika kelompok tersebut telah mempercayai seseorang untuk menjadi pemimpin maka segala keputusan hukum yang ia keluarkan harus dipatuhi. Karena kepatuhan tersebut melandaskan pada kesepakatan yang sudah ada dalam komunitas tersebut.
Jhon Locke berpendapat bahwa pada waktu perjanjian disertakan pula persyaratan bahwa kekuasaan yang diberikan harus dibatasi. Ketika masyarakat memberikan kekuasaan kepada seseorang yang ditunjuk bersama harus ada pembatasan kekuasaan. Sehingga teori ini menghasilkan kekuasaan raja yang dibatasi konstitusi, jadi tidak bersifat absolut.
Menurut J.J Rosseau dalam bukunya “Le Contract Social ou Principes de Droit Politique” menyatakan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada individu- individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan persyaratan tertentu”. Kebabasan yang dimiliki oleh warga tidak diserahkan secara utuh. Maka masyarakat akan mematuhi hukum apabila hukum tersebut memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
3. Teori Kedaulatan Negara
Negara terbentuk karena adanya hukum alam yang membentuknya. Sebuah Negara mempunyai kewenangan untuk membuat seperangkat aturan hukum. Tujuan Negara menciptakan aturan hukum adalah untuk mengkondisikan masyarakat menuuju sebuah tatanan yang adil dan equivalen. Negara mempunyai wewenang yang besar untuk mengatur rakyat, salah satunya adalah pembentukan hukum. Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya hukum karena Negara menghendakinya, sehingga Negara yang berdaulat berhak untuk menghukum seseorang yang mencoba mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Hukum itu muncul karena adanya Negara dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh Negara.
Meskipun demikian alasan yang paling mendasar dari suatu Negara dapat memaksakan hukum dikarenakan Negara memiliki tanggung jawab yang sangat besar yaitu mewujudkan segala tujuan yang menjadi cita- cita dan keinginan seluruh warganya. Tugas Negara yang paling utama adalah memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganegara. Apabila ada anggtota masyarakat yang melanggar hukum maka Negara akan memebrikan sanksi yang tegas. Dengan adanya pelanggaran hukum berarti Negara belum mampu memberikan proteksi yang optimum kepada masyarakat.
4. Teori Kedaulatan Hukum
Berdasarkan teori ini hukum mengikat bukan karena kehendak Negara, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakyat. Kesadaran hukumlah yang membuat aturan hukum dipatuhi dan ditaati. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu Kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, tetapi teori tersebut mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat diartikannya secara jelas menganai apa itu kesadaran hukum dan apa yang diartikan sebagai perasaan hukum itu. Hukum yang dijelmakan dalam sebuah produk legislasi dianggap sebagai implementasi kesadaran hukum. Hukum ditaati karena manusia memiliki akal untuk memikirkan mengenai hukum dan konsekwensinya.
Dapat disimpulkan bahwa kekuatan mengikatnya suatu tata huku dapat dilihat dari empat teori, yakni Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi), Teori Perjanjian Masyarakat, Teori kedaulatan Negara, dan Teori kedaulatan hukum. Dari semua teori yang ada memunculkan sebuah pendapat bahwa kekuatan mengikat sebuah tata hukum karena adanya kebutuhan manusia akan adanya sebuah ketenangan. Hukum memiliki sanksi yang menimbulkan penderitaan. Oleh karena manusia menginginkan kebahagian itulah hukum ditaati.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Unsur-Unsur Proses Hukum Acara Pidana

  TAHAP PROSES PIDANA DASAR TINDAKAN HAK-HAK TERTUDUH Penahanan sementara oleh polisi ...