TUGAS
PENGANTAR FILSAFAT HUKUM
PENGANTAR FILSAFAT HUKUM
NAMA : HARIADY PUTRA ARUAN
NIM : 1604551150
KELAS : A
MATA KULIAH : PENGANTAR FILSAFAT HUKUM
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
UDAYANA
2018
BAB I
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEADILAN
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEADILAN
Hukum
dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling bertaut yang merupakan
“conditio sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum yang selama ini
diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang,
menjadi titik awal timbulnya masalah penegakan hukum.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata Adil mempunyai arti tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan berpegang teguh pada kebenaran.
Sedangkan Keadilan, merupakan sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang
adil.
Thomas
Aquinas seorang tokoh filsuf hukum alam, mengelompokkan keadilan menjadi dua,
yaitu:
1) Keadilan Umum, yaitu keadilan menurut
kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
2) Keadlina Khusus, yaitu keadilan yang didasarkan
pada asas kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
· Keadilan distributif (justitia
distributive) adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam
lapangan hukum publik secara umum.
· Keadilan Komutatif adalah keadilan dengan
mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.
· Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal
menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap
adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai besarnya hukuman yang telah
ditentukan atas tindakan pidana yang dilakukannya.
Antara
Hukum dan Keadlian saling terkait seperti dua sisi mata uang, hukum tanpa
keadilan dapat diibaratkan layaknya badan tanpa jiwa, sedangkan keadilan tanpa
hukum akan dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi yang di dalam
mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup dikresi yang luas serta tidak ada
keterkaitan pada perangkat aturan.
BAB II
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN
HUBUNGAN HUKUM DENGAN KEKUASAAN
hukum itu sendiri pada hakekatnya adalah kekuasaan.
Hukum itu mengatur, mengusahakan ketertiban dan membatasi uang gerak
individu.Tidak mungkin hukum menjalankan fungsinya itu kalau tidak merupakan
kekuasaan. Hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang mengusahakan ketertiban.
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan
tidak identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa
hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is
not right” , pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak
berarti bahwa ia berhak atas barang itu. Karena barang yang didapat si pencuri
tersebut didapatkan dengan cara melawan hukum.
Sekalipun hukum itu
kekuasaan, mempunyai kekuasaan untuk memaksakan berlakunya dengan sanksi, namun
hendaknya dihindarkan jangan sampai menjadi hukum kekuasaan, hukum bagi yang
berkuasa. Karena ada bahkan banyak penguasa yang menyalahgunakan hukum,
menciptakan hukum itu semata-mata untuk kepentingan penguasa itu sendiri atau
yang sewenang-wenang mengabaikan hukum, maka muncullah istilah “rule of law”.
Hal ini tidak lain
disebabkan secara implementasi hukum selalu menjadi cerminan dari kehendak
pemegang kekuasaan sehingga tidak heran jika orang menganggap bahwa hukum
adalah kekuasaan. Apeldorn misalnya mencatat adanya beberapa pengikut paham
yang menyatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, seperti kaum sofis di Yunani yang
menyatakan bahwa keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat,
Leslee mengatakan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah UUD yang tertulis yang
merupakan secarik kertas melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam
suatu negara, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukan yang lemah
oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang
kuat untuk mempertahankan kekuasannya. Sebagian pengikut aliran Positivisme
menganggap bahwa kepatuhan terhadap hukum tidak lain dari tunduknya orang yang
lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum merupakan hak orang
yang terkuat (Mahfud:2009:21).
BAB III
HUKUM
SEBAGAI PEMBARUAN MASYARAKAT ( LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING)
Fungsi hukum sebagai social
engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk
melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini maka hukum
tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada didalam masyarakat,
melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang
baru. Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi keputusan-keputusan
yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada
tujuan-tujuan yang dikehendaki. Manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai
macam cara, misalnya dengan memberikan ancaman pidana, insentip, dan
sebagainya. Hubungan antara hukum dengan perubahan masyarakat disini sangat
jelas sekali, oleh karena hukum disini justeru dipanggil untuk mendatangkan
perubahan-perubahan didalam masyarakat.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai
sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah
satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa yang
dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu
dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada
faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat
berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun
golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus
diidentifikasikan, karena suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya
tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang dipilih
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada
pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang
sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam
penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga
masyarakat. Sebab sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan
tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat untuk dipergunakan.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam
perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan
(intended change atau planed change). Dengan perubahan-perubahan yang
dikehendaki dan yang direncanakan oleh warga-warga masyarakat yang berperan
sebagai pelopor masyarakat dan dalam masyarakat yang sudah kompleks dimana
birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan sosial, mau tak mau
harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka hukum dapat
merupakan alat yang ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial.
Mochtar Kusumaatmadja telah mengintrodusir paradigma
teori hukum pembangunan, dengan menyebutkan : “Jika kita artikan dalam artian
yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan
meliputi pula lembaga (institutions) dan proses-proses (processes) yang
mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan”.
BAB IV
KEKUATAN
MENGIKAT DARI HUKUM
Seperangkat aturan hukum
hadir agar tercipta suatu kondisi yang damai dan tenteram. Bagaimana peranan
hukum sebagai stabilisator dalam masyarakat memilki banyak factor. Salah
satunya adalah sumber dari mana hukum tersebut berasal.
Ketika membicarakan
filsafat hukum kita harus mengetahui definisi dan pengertin dari filsafat
hukum. Sodjono Dirjosisworo menyatkn bahwa filsafat hukum adlah pendirian atu
penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau Negara tentang
hakikat, ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum.
Terdapat teori yang menjelaskan dasar – dasar
mengikatnya hukum. Antara lain:
1. Teori Teokrasi
A. Langsung
Teori teokrasi langsung
menyatakan bahwa manusia, dalam hal ini raja merupakan orang yang ditunjuk oleh
tuhan di dunia. Perkembangan teori ini ketika berkembangnya mazhab hukum alam.
Raja sebagai orang yang ditunjuk secara langsung oleh tuhan menjalankan
perintah langsung oleh tuhan. Tuhan menurunkan seperangkat aturan kepada
manusia untuk menjadi panduan dalam hidupnya. Sehingga peran raja hanyalah
sebagai phak yang ditugaskan untuk menjalankan aturan hukum dari tuhan.
Ketika manusia memutuskan
untuk mempercayai tentan Tuhann ia akan mempercayai ketika dirinya melanggar aturan
yang telah diturunkan akan mendatangkan nestapa (neraka). Namun jika manusia
mematuhi aturan tuhan akan mendapatkan ganjaran berupa kenikmatan (surga).
Hukum ditaati oleh manusia karena manusia menginginkan dirinya mendapatkan
kebahagiaan dan menghindarkan pada penderitaan. Raja sebagai penjelmaan tuhan
di dunia sehingga apa yang ditetapkan harus ditaati.
B. Tidak Langsung
Seorang raja yang
berkuasa di dunia mendalilkan bahwa kekuasaannya sebagai raja karena adanya
mandat yang diberikan oleh tuhan. Teori ini berkembang pada zaman Renaissance.
Raja sebagai bij de gratie goda (raja atas karunia tuhan). Ini merupakan
perkembangan dari teori teokrasi sebelumnya. Para raja menganggap dirinya
sebagai aparatur tuhan. Raja diberikan kewenangan untuk membuat aturan hukum
yang membatasi hak manusia dan membebankan sebuah kewajiban padanya. Ketika
seorang raja membuat aturan hukum harus mendasarkan pada kitab suci yang
diturunkan oleh tuhan.
Jika dilihat maka kita
akan menemukan kenyataan bahwa adanya hukum juga akan menimbulkan konsekwensi.
Ketika seseorang tidak mematuhi aturan yang telah mendapatkan legitimasi
ketuhanan dirinya akan dibayang-bayangi oleh hukuman drai tuhan. Sehingga hukum
yang ditetapkan oleh raja tersebut dipatuhi sebaga sebuah keniscayaan.
2. Teori Perjanjian Masyarakat
Dasar kekuatan mengikat
hukum menurut teori ini adalah adanya kesepakatan (agreement) dalam masyarakat.
Pada awalnya manusia hidup dalam ketidak teraturan dan konflik berkepanjangan.
Thomah Hobbes sebagai salah satu tokoh ilmu Negara menyatakan pendapatnya yang
tentang konflik pada awal periode kebudayaan sebagai berikut :
“Pada Mulanya manusia itu
hidup dalam suasana selalu berperang. Agar tercipta suasana damai dan tentram,
lalu diadakan perjanjian di antara mereka (pactum unionis). Setelah itu,
disusul perjanjian antara semua dengan seseorang tertentu (pactum subjectionis)
yang akan diserahi kekuasaan untuk memimpin mereka. Kekuasaan yang dimiliki
oleh pemimpin itu adalah mutlak atau bersifat absolute”
Pandangan yang
dilontarkan oleh Hobbes menyiratkan adanya penundukan secara penuh terhadap
orang yang ditunjuk sebagai pemimpin. Masyarakat menyepakati adanya persatuan
yang diwujudkan dalam sebuah komunitas yang dinamakan Negara. Setelah terbentuk
suatu
komunitas diperlukan
seperangkat aturan agar menciptakan tata yang adil dan harmonis. Kesepakatan
selanjutnya ketika menentukan adanya orang-orang yang dianggap paling kompeten
untuk menciptakan hukum. Orang yang ditunjuk ini memiliki kompetensi serta
kecerdasan dalam menjalankan tugasnya. Ketika kelompok tersebut telah
mempercayai seseorang untuk menjadi pemimpin maka segala keputusan hukum yang
ia keluarkan harus dipatuhi. Karena kepatuhan tersebut melandaskan pada
kesepakatan yang sudah ada dalam komunitas tersebut.
Jhon Locke berpendapat
bahwa pada waktu perjanjian disertakan pula persyaratan bahwa kekuasaan yang
diberikan harus dibatasi. Ketika masyarakat memberikan kekuasaan kepada
seseorang yang ditunjuk bersama harus ada pembatasan kekuasaan. Sehingga teori
ini menghasilkan kekuasaan raja yang dibatasi konstitusi, jadi tidak bersifat
absolut.
Menurut J.J Rosseau dalam
bukunya “Le Contract Social ou Principes de Droit Politique” menyatakan
kekuasaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat tetap berada pada individu-
individu dan tidak diserahkan pada seseorang tertentu secara mutlak atau dengan
persyaratan tertentu”. Kebabasan yang dimiliki oleh warga tidak diserahkan
secara utuh. Maka masyarakat akan mematuhi hukum apabila hukum tersebut
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
3. Teori Kedaulatan Negara
Negara terbentuk karena
adanya hukum alam yang membentuknya. Sebuah Negara mempunyai kewenangan untuk
membuat seperangkat aturan hukum. Tujuan Negara menciptakan aturan hukum adalah
untuk mengkondisikan masyarakat menuuju sebuah tatanan yang adil dan equivalen.
Negara mempunyai wewenang yang besar untuk mengatur rakyat, salah satunya
adalah pembentukan hukum. Pada intinya teori ini berpendapat bahwa ditaatinya
hukum karena Negara menghendakinya, sehingga Negara yang berdaulat berhak untuk
menghukum seseorang yang mencoba mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Hukum
itu muncul karena adanya Negara dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku jika
tidak dikehendaki oleh Negara.
Meskipun demikian alasan
yang paling mendasar dari suatu Negara dapat memaksakan hukum dikarenakan
Negara memiliki tanggung jawab yang sangat besar yaitu mewujudkan segala tujuan
yang menjadi cita- cita dan keinginan seluruh warganya. Tugas Negara yang
paling utama adalah memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganegara. Apabila
ada anggtota masyarakat yang melanggar hukum maka Negara akan memebrikan sanksi
yang tegas. Dengan adanya pelanggaran hukum berarti Negara belum mampu
memberikan proteksi yang optimum kepada masyarakat.
4. Teori Kedaulatan Hukum
Berdasarkan teori ini
hukum mengikat bukan karena kehendak Negara, melainkan karena perumusan dari
kesadaran hukum rakyat. Kesadaran hukumlah yang membuat aturan hukum dipatuhi
dan ditaati. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam
hukum itu Kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap
individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu, tetapi teori tersebut
mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat diartikannya secara jelas menganai apa
itu kesadaran hukum dan apa yang diartikan sebagai perasaan hukum itu. Hukum
yang dijelmakan dalam sebuah produk legislasi dianggap sebagai implementasi
kesadaran hukum. Hukum ditaati karena manusia memiliki akal untuk memikirkan
mengenai hukum dan konsekwensinya.
Dapat disimpulkan bahwa
kekuatan mengikatnya suatu tata huku dapat dilihat dari empat teori, yakni
Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi), Teori Perjanjian Masyarakat, Teori
kedaulatan Negara, dan Teori kedaulatan hukum. Dari semua teori yang ada
memunculkan sebuah pendapat bahwa kekuatan mengikat sebuah tata hukum karena
adanya kebutuhan manusia akan adanya sebuah ketenangan. Hukum memiliki sanksi
yang menimbulkan penderitaan. Oleh karena manusia menginginkan kebahagian
itulah hukum ditaati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar