PENGERTIAN
HUKUM PIDANA
Moeljatno
mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang
tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi
pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2.
Menentukan kapan dan dalam hal apa
kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
3.
Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah
melanggar ketentuan tersebut.
Pengnertian
hukum pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno dalam konteks yang lebih luas,
tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil (poin 1 dan 2), tetapi juga
hukum pidana formil (poin 3). Hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan
penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam perbuatan pidana serta kapan
orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tapi juga proses
peradilan yang harus dijalankan oleh orang tersebut.
Van Bemmelen
secara eksplisit mengartikan hukum pidana dalam dua hal, yaitu hukum pidana
materiil dan hukum pidana formil. Menurutnya, hukum pidana materiil terdiri
atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat
diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidanayang diancamkan terhadap perbuatan
itu. Sedangkan hukum pidana formal adalah mengatur cara bagaimana cara pidana
seharusnya dilakukan dan melakukan tata tertib yang harus diperhatikan dalam
kesempatan itu. Pengertian Van Bemmelen ini agak sama dengan pengertian hukum
pidana yang dikemukakan Moeljatno, yaitu dalam kategori hukum pidana materiil
dan hukum pidana formal.
Wirjono Prodjodikoro memberikan
pengertian hukum pidana kedalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.
Menurutnya isi hukum pidana materiil adalah penunjukan dan gambaran dari
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana; penunjukan syarat umum
yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang membuatnya
dapat dihukum pidana; dan penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat
dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal (hukum acara pidana) berhubungan erat
dengan diadakannya hukum pidana materiil, oleh karena, merupakan suatu rangkaian
peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa,
yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan
Negara dengan mengadakan hukum pidana.
Sudarto, ahli
hukum pidana lain, mendefinisikan hukum pidana sebagai hukum yang memuat
aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi
syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal ini, maka kitab hukum
undang-undang hukum pidana (KHUP) memuat dua hal pokok yaitu:
1. Memuat
pelukisan-pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yang
memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana.
2. KUHP
menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu.
Pengertian
yang dikemukakan oleh Sudarto lebih sempit dari pengertian yang diuraikan oleh
Moeljatno, Van Bemmelen, dan Wirjono Prodjodikoro. Karena sudarto hanya
mengartikan hukum pidana sebagai hukum pidana materiil yakni berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana.
Pengertian
hukum pidana juga dikemukakan oleh Adami
Chazawi. Dia mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum public yang
memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1. Aturan
umum hukum pidana dan yang berkaitan dengan larangan melakukan
perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negative) tertentu yang
disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar
larangan tersebut.
2. Syarat-syarat
tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus dibagi si pelanggar untuk dapat
dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya.
3. Tindakan
dan upaya-upaya lain yang boleh atau harus dilakukan Negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan
didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha menentukan,
menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan
upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka dan terdakwa
pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya
dari tindakan Negara dalam upaya Negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Pengertian
hukum pidana yang Adami Chazawi tersebut lebih luas lagi, yang tidak hanya
pengertian hukum pidana dalam arti materiil dan formil, tetapi juga dalam arti
hukum pidana eksekutoriil. Artinya, hukum pidana tidak hanya berhubungan dengan
penentuan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, kapan
orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, dan proses peradilan
yang harus dijalankan orang tersebut, tetapi juga bagaimana pelaksanaan pidana
yang telah dijatuhkan kepada orang itu.
Andi Zainal Abidin
mengartikan hukum pidana meliputi: pertama, perintah dan larangan, yang atas
pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh
badan-badan Negara yang berwenang; kedua, ketentuan-ketentuan yang menetapkan
dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran
pelanggaran itu; dan ketiga, kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup
berlakunya peraturan itu pada waktu dan
di wilayah Negara tertentu.
Berdasarkan
uraian tentang pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli dengan
cara pandang yang berbeda-beda diatas, dapat disimpulkan bahwa didalam istilah
hukum pidama pada dasarnya tercakup beberapa pengertian. Pertama, adakalanya
istilah hukum pidana bermakna sebagai hukum pidana materiil (substantive
criminal law), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai perbuatan yang
dinyatakan terlarang, hal-hal atau syarat-syarat yang menjadikan seseorang
dapat dikenai tindakan hukum tertentu berupa pidana baik sanksi pidana maupun
sanksi tindakan. Ketiga hal tersebut dalam khazanah teori hukum pidana lazim
disebut dengan perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana
(criminal responsibility/liability), dan pidana atau tindakan (punishment/treatment).
Kedua,
istilah hukum pidana juga bermakna sebagai hukum pidana formil (law of criminal
procedure), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai tata cara atau
prosedur penjatuhan sanksi pidana atau tindakan bagi seseorang yang diduga
telah melanggar aturan dalam hukum pidana materiil.
Ketiga,
istilah hukum pidana juga diartikan sebagai hukum pelaksanaan pidana (law of
criminal execution), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai
bagaimana suatu sanksi pidana yang telah dijatuhkan terhadap seorang pelanggar
hukum pidana materiil itu harus dilaksanakan.
ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA
Asas
Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi
batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari
penyalahgunaan wewenang hakim,
menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan
sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu
perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas
oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum
dilakukan.
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak
mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia
mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya,
sehingga ada nash yang melarangnya. Ini
berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang
terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von
Feurbach, yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori
ini berarti anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak
hanya tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von
Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali. Secara
bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak
pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang
mendahuluinya”. Secara umum, Von
Feuerbach membagi adagium
tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1) tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3) Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang
berdasarkan Undang-undang
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan
pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya
dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang
melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
KEISTIMEWAAN
HUKUM PIDANA
Hukum pidana mempunyai
keistimewaan yang sering dikatakan sebagai
“Pedang Bermata Dua” artinya disatu sisi ia berusaha melindungi kepentingan orang lain (umum), namun
di sisi lain ia menyerang kepentingan
orang lain, yaitu dengan adanya hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yang melakukan
perbuatan pidana. Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan yang berupa ancaman
pidana sehingga hukum ini ditaati oleh setiap individu sebagai subjek hukum.
PERBUATAN
PIDANA
Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang diancam
dengan pidana. Antara larangan dengan acaman pidana ada hubungan yang
erat, seperti hubungan peristiwa dengan oranng yang menyebabkan peristiwa
tersebut, utuk menyatakan hubungan tersebut dipakailah kata “perbuatan” yang
berarti suatu pengertian abstrak yang menunjukan kepada dua hal yang
konkrit. Istilah lain yang dipakai dalamhukum pidana, yaitu; “tindakan pidana”.
Perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah belanda, yaitu; strafbaarfeit,
menurut Simon; strafbaarfeit adalah kelakuan oleh seseorang yang dapat
bertanggung jawab, berhubungan denga kesalahan yang bersifat melawan
kukum dan diancam pidana.
Dalam
perbuatan terdapat unsur-unsur, yaitu: Pertama, kelakuan dan akibat.
Kedua, sebab atau keadaan tertentu yang mentertai perbuatan, menurut Van Hamel;
sebab-sebab terbagi dalam dua golongan, berkaitan dengan diri orang
tersebut dan dan di luar diri orang tersebut. Ketiga, kerena keadaan tambahan
atau unsur-unsur yang memberatkan. Keempat, sifat melawan hukum. Kelima, unsur
melawan hukum secara obyektif dan subyektif.
Perbuatan
pidana terbagi atas; tindak kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Selai dari perbuatan tersebut terdapat pula yang
disebut: Delik dolus (denga kesengajaan) dan delik culva (dengan pengabaian),
delik commissionis (melanggar hukum dengan perbuatan) dan delik ommissionis
(melanggar hukum dengan tidak melakukan perbuatan hukum), delik biasa dan delik
yang dikualifisir (delik biasa dengan unsur-unsur yang memberatkan), delik
penerus (dengan akibat perbuatan yang lama) dan delik tidak penerus (akibat
perbuatan tidak lama).
Locus
delicti atau yang dikenal dengan tempat terjadinya perkara, dikenal dua teeori,
yaitu; yang menyatakan tempat terjadinya perkara adalah tempat tedakwa berbuat,
dan yang menyatakan tempat tarjadinya perkara adalah tempat terdakwa
berbuat dan mungkin tempat dari akibat perbuatan.
Dalam
hukum pidana tingkah laku ada yang bernilai positif dan adayang bernilai
negative. Dikatakan positif karena pelaku berperan aktiv, sedangkan dikatakan
negative karena pelaku tidak berperan aktiv dan perbuatan yang diharuskan
hukum. Dalam tingkah laku yang bernialai positif ada beberapa hal yang tidak
terkait, yaitu; gerak yang dilakukan secara reflek. Simon berpendapat bahwa
tingkah laku yang positif adalah gerakan otot yang dilakukan yang menimbulkan
akibat-akibat hukum, sedangkan menurut Pompe, ada tiga ketentuan dalam
tingkah laku, yaitu; ditimbulkan oleh seseorang, jelas atau dapat dirasakan,
yang dilarang dalam obyek hukum.
Dalam
delik-delik yang dirumuskan secara matriil, terdapat keadaan-keadaan tetentu
yang dilarang, untuk itulah diperlukan hubungan kausal, agar dapat diberatkan
secara hukum (delik berkwalifisir) dengan merumuskan akibat-akibat
dari perbuatan tersebut, sehingga jelas dan terbukti. Maka dari itulah dikenal
ajaran tentang hubungan-hubungan kausal.