Sabtu, 19 Mei 2018

Pengertian, keistimewaan, perbuatan pidana serta asas legalitas

PENGERTIAN HUKUM PIDANA
          Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1.     Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2.     Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
3.     Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.
Pengnertian hukum pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil (poin 1 dan 2), tetapi juga hukum pidana formil (poin 3). Hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam perbuatan pidana serta kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tapi juga proses peradilan yang harus dijalankan oleh orang tersebut.
Van Bemmelen secara eksplisit mengartikan hukum pidana dalam dua hal, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurutnya, hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidanayang diancamkan terhadap perbuatan itu. Sedangkan hukum pidana formal adalah mengatur cara bagaimana cara pidana seharusnya dilakukan dan melakukan tata tertib yang harus diperhatikan dalam kesempatan itu. Pengertian Van Bemmelen ini agak sama dengan pengertian hukum pidana yang dikemukakan Moeljatno, yaitu dalam kategori hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.
Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum pidana kedalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Menurutnya isi hukum pidana materiil adalah penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana; penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang membuatnya dapat dihukum pidana; dan penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal (hukum acara pidana) berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana materiil, oleh karena, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.
Sudarto, ahli hukum pidana lain, mendefinisikan hukum pidana sebagai hukum yang memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal ini, maka kitab hukum undang-undang hukum pidana (KHUP) memuat dua hal pokok yaitu:
1.     Memuat pelukisan-pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana.
2.     KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu.
Pengertian yang dikemukakan oleh Sudarto lebih sempit dari pengertian yang diuraikan oleh Moeljatno, Van Bemmelen, dan Wirjono Prodjodikoro. Karena sudarto hanya mengartikan hukum pidana sebagai hukum pidana materiil yakni berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana.
Pengertian hukum pidana juga dikemukakan oleh Adami Chazawi. Dia mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum public yang memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1.     Aturan umum hukum pidana dan yang berkaitan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negative) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan tersebut.
2.     Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus dibagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3.     Tindakan dan upaya-upaya lain yang boleh atau harus dilakukan Negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka dan terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan Negara dalam upaya Negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Pengertian hukum pidana yang Adami Chazawi tersebut lebih luas lagi, yang tidak hanya pengertian hukum pidana dalam arti materiil dan formil, tetapi juga dalam arti hukum pidana eksekutoriil. Artinya, hukum pidana tidak hanya berhubungan dengan penentuan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, dan proses peradilan yang harus dijalankan orang tersebut, tetapi juga bagaimana pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada orang itu.
Andi Zainal Abidin mengartikan hukum pidana meliputi: pertama, perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan Negara yang berwenang; kedua, ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran pelanggaran itu; dan ketiga, kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan itu pada waktu  dan di wilayah Negara tertentu.
Berdasarkan uraian tentang pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli dengan cara pandang yang berbeda-beda diatas, dapat disimpulkan bahwa didalam istilah hukum pidama pada dasarnya tercakup beberapa pengertian. Pertama, adakalanya istilah hukum pidana bermakna sebagai hukum pidana materiil (substantive criminal law), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai perbuatan yang dinyatakan terlarang, hal-hal atau syarat-syarat yang menjadikan seseorang dapat dikenai tindakan hukum tertentu berupa pidana baik sanksi pidana maupun sanksi tindakan. Ketiga hal tersebut dalam khazanah teori hukum pidana lazim disebut dengan perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/liability), dan pidana atau tindakan (punishment/treatment).
Kedua, istilah hukum pidana juga bermakna sebagai hukum pidana formil (law of criminal procedure), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai tata cara atau prosedur penjatuhan sanksi pidana atau tindakan bagi seseorang yang diduga telah melanggar aturan dalam hukum pidana materiil.
Ketiga, istilah hukum pidana juga diartikan sebagai hukum pelaksanaan pidana (law of criminal execution), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai bagaimana suatu sanksi pidana yang telah dijatuhkan terhadap seorang pelanggar hukum pidana materiil itu harus dilaksanakan.

ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA
          Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1) tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3) Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.

KEISTIMEWAAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana mempunyai keistimewaan yang sering dikatakan sebagai “Pedang Bermata Dua” artinya disatu sisi ia berusaha melindungi kepentingan orang lain (umum), namun di sisi lain ia menyerang kepentingan orang lain, yaitu dengan adanya hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan yang berupa ancaman pidana sehingga hukum ini ditaati oleh setiap individu sebagai subjek hukum.

PERBUATAN PIDANA
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang diancam dengan pidana. Antara larangan dengan  acaman pidana ada hubungan yang erat, seperti hubungan peristiwa dengan oranng yang menyebabkan peristiwa tersebut, utuk menyatakan hubungan tersebut dipakailah kata “perbuatan” yang berarti  suatu pengertian abstrak yang menunjukan kepada dua hal yang konkrit. Istilah lain yang dipakai dalamhukum pidana, yaitu; “tindakan pidana”. Perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah belanda, yaitu; strafbaarfeit, menurut Simon; strafbaarfeit adalah kelakuan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab, berhubungan denga kesalahan  yang bersifat melawan kukum dan diancam pidana.
Dalam perbuatan terdapat unsur-unsur, yaitu: Pertama,  kelakuan dan akibat. Kedua, sebab atau keadaan tertentu yang mentertai perbuatan, menurut Van Hamel; sebab-sebab terbagi dalam dua golongan,  berkaitan dengan diri orang tersebut dan dan di luar diri orang tersebut. Ketiga, kerena keadaan tambahan atau unsur-unsur yang memberatkan. Keempat, sifat melawan hukum. Kelima, unsur melawan hukum secara obyektif dan subyektif.
Perbuatan pidana terbagi atas; tindak kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Selai  dari perbuatan tersebut terdapat pula  yang disebut: Delik dolus (denga kesengajaan) dan delik culva (dengan pengabaian), delik commissionis (melanggar hukum dengan perbuatan) dan delik ommissionis (melanggar hukum dengan tidak melakukan perbuatan hukum), delik biasa dan delik yang dikualifisir (delik biasa dengan unsur-unsur yang memberatkan), delik penerus (dengan akibat perbuatan yang lama) dan delik tidak penerus (akibat perbuatan tidak lama).
Locus delicti atau yang dikenal dengan tempat terjadinya perkara, dikenal dua teeori, yaitu; yang menyatakan tempat terjadinya perkara adalah tempat tedakwa berbuat, dan  yang menyatakan tempat tarjadinya perkara adalah tempat terdakwa berbuat dan mungkin tempat dari akibat perbuatan.
Dalam hukum pidana tingkah laku ada yang bernilai positif dan adayang bernilai negative. Dikatakan positif karena pelaku berperan aktiv, sedangkan dikatakan negative karena pelaku tidak berperan aktiv dan perbuatan yang diharuskan hukum. Dalam tingkah laku yang bernialai positif ada beberapa hal yang tidak terkait, yaitu; gerak yang dilakukan secara reflek. Simon berpendapat bahwa tingkah laku yang positif adalah gerakan otot yang dilakukan yang menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan menurut  Pompe, ada tiga ketentuan dalam tingkah laku, yaitu; ditimbulkan oleh seseorang, jelas atau dapat dirasakan, yang dilarang dalam obyek hukum.

Dalam delik-delik yang dirumuskan secara matriil, terdapat keadaan-keadaan tetentu yang dilarang, untuk itulah diperlukan hubungan kausal, agar dapat diberatkan secara hukum (delik berkwalifisir) dengan merumuskan akibat-akibat dari perbuatan tersebut, sehingga jelas dan terbukti. Maka dari itulah dikenal ajaran tentang hubungan-hubungan kausal.

Minggu, 06 Mei 2018

Perbedaan MOU dan Perjanjian internasional (Convention, treaties, etc)

Tabel Perbedaan :
NO
MOU
Perjanjian Internasional (Convention)
1
Para Pihak (Parties) yang terlibat didalamnya adalah Perseorangan/ individu, perusahaan.
Para Pihak (Parties) yang terlibat didalamnya adalah Negara.
2
Istilah yang digunakan “Will” penggunaan istilah ini adalah karena pihak yang terkait hanya ingin mengikatkan dirinya pada MOU saja.
Istilah yang digunakan “Shall”, “Rights”, “Enter in Force”. Karena bersifat mengikat.
3
Tidak membutuhkan formalitas-formalitas (Nasional maupun internasional) seperti dalam Perjanjian Internasional.
Membutuhkan Formalitas-formalitas (Nasional Maupun Internasional). Tercantum dalam Article 15 Convention diatas.
4
Memiliki tenggat waktu, atau dengan kata lain bersifat sementara.
Tidak memiliki tenggat waktu, atau dengan kata lain bersifat permanent/ Unlimited time.
5
Tempat penyelesaian sengketa telah ditentukan sebelumnya. Dalam contoh MOU diatas tempat penyelesaian sengketa adalah  Arbitration Court of Barcelona (Spain)/ Pengadilan Arbitrase Internasional di Spanyol.
Para pihak diharuskan berkonsultasi untuk menyelesaikan sengketa atau dengan melalui jalur damai sesuai dengan pilihan pihak yang bersangkutan atau dengan melakukan rujukan ke pengadilan internasional sesuai dengan Statuta Mahkamah internasional.


Rabu, 02 Mei 2018

INDEPENDENSI KPK DITENGAH BERGULIRNYA KASUS E KTP DAN PENERAPAN HAK ANGKET DPR TERHADAP KPK

INDEPENDENSI KPK DITENGAH BERGULIRNYA
KASUS E KTP DAN PENERAPAN HAK ANGKET
DPR TERHADAP KPK

                   NAMA                          : Hariady Putra Aruan
                   NIM                              : 1604551150
                   KELAS                         : C R eguler Pagi
                    MATA KULIAH         : Hukum Tata Negara



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A.    Latar Belakang
Akhir-akhir ini sering sekali terdengar istilah “Hak Angket”. Hal ini terjadi akibat dampak kasus E-Ktp yang masih saja bergulir hingga pada saat ini. Masih banyak kalangan masyarakat yang tidak mengerti secara benar apa pengertian dari Hak Angket itu sendiri sehingga banyak terjadi kesalahan dalam penafsiran masyarakat dalam menanggapi kasus yang terjadi saat ini. Maka dari itu, perlu rasanya kita mendalami lebih lagi mengenai Hak Angket tersebut agar kita lebih mengerti apa yang dimaksud Hak Angket tersebut, siapa saja yang dapat mengajukan Hak Angket, apa saja persyaratan dalam mengajukan Hak Angket beserta proses pengajuannya dan Undang-undang yang mengatur tentang Hak Angket itu sendiri sehingga kita tidak lagi melakukan kesalahan dalam menanggapi masalah yang ada mengenai Hak Angket tersebut. Saat ini yang sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakat adalah mengenai Hak Angket anggota DPR terhadap KPK mengenai kasus E-Ktp yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2014 yang lalu. Disini juga kita akan mengeulas mengenai Independensi KPK. Semoga pembahasan mengenai Hak Angket ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.

B.     Pembahasan
Sebelum kita membahas mengenai indenpendensi dari KPK ditengah bergulirnya kasus E-Ktp serta Hak Angket yang diberikan oleh DPR. Maka kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Indenpendensi, Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga memiliki arti suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya keberadaan kita adalah mandiri. tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi tertentu. Dalam konteks lain, independensi juga merupakan hak kita sebagai manusia, yang memiliki hak bebas dan merdeka tanpa ditekan oleh orang lain. Tentu saja dalam pelaksanaannya yang disebut independen juga ada batasan-batasannya. Karena suatu lembaga atau organisasi juga tidak dapat eksis tanpa adanya dukungan dari pihak lain.
Hak Angket dalam ketatanegaraan Indonesia, adalah salah satu hak DPR untuk menyelidiki masalah yang pelaksanaanya dianggap telah menyimpang dari persetujuan antara Pemerintah dan DPR sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Tidak seperti konstitusi RIS 1949 (yang termuat dalam pasal 121) dan UUDS 1950 (yang termuat dalam pasal 70), UUD 1945 yang dipegang sampai sekarang tidak mencantumkan Hak Angket sebagai salah satu hak DPR. Namun demikian, tidak berarti DPR RI tidak memiliki Hak Angket. Hak Angket DPR RI sebagaimana hak-hak DPR lainnya diatur dalam Tata Tertib DPR. Dalam Tata Tertib tersebut dikatakan bahwa sejumlah anggota yang tidak hanya terdiri dari satu fraksi dapat mengusulkan untuk mengadakan penyelidikan terhadap sesuatu, usul tersebut harus dinyatakan dalam suatu perumusan yang memuat dengan jelas hal yang harus diselidiki disertai penjelasan dan rancangan biaya dan mengirimkannya kepada pimpinan DPR dan selanjutnya pimpinan DPR akan membagikannya kepada anggota dan Presiden. Badan Musyawarah DPR (BAMUS DPR) akan menentukan waktu bagi fraksi-fraksi untuk mempelajari usul tersebut dan kapan pembicaraan dalam rapat paripurna akan dilaksanakan. Selama usul untuk penyelidikan tersebut belum disetujui, para pengusul berhak mengadakan perubahan atau bahkan menariknya kembali. Penarikan kembali tersebut harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR yang akan membagikannya kepada para anggota dan mengirimkannya kepada Presiden.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan Undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Menurut pasal 77 ayat (3) defenisi Hak Angket adalah :
Pasal 77 :
(3) Hak Angket sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
            Prasyarat serta mekanisme Hak Angket sendiri juga diatur dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pengaturan mekanisme Hak Angket diatur dalam Pasal 177 mengenai Hak Angket. Sesuai pasal tersebut hak angket harus diuslkan  oleh minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Berikut petikan pasal 177 yang mengatur syarat pengusulan Hak Angket :
            Pasal 177 :
(1)   Hak Angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2)   Pengusulan Hak Angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya :
a.       Materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
b.      Alasan penyelidikan
(3)   Usul sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi Hak Angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat 3 Pasal 177, suatu usulan menjadi Hak Angket apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari ½ jumlah anggota DPR. Keputusan juga harus diambil dengan persetujuan lebih dari ½ jumlah anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna. Dalam kasus rapat paripurna DPR yang akan melakukan Hak Angket terhadap KPK, terdapat 283 anggota dari 560 anggota DPR. Sehingga dari segi jumlah anggota sudah terpenuhi. Setelah melakukan pengesahan, DPR kemudian akan membentuk Panitia Angket atau yang disebut Panitia Khusus (PANSUS) yang terdiri dari atas semua unsur fraksi DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 178 ayat (2).
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 DPR harus menyampaikan adanya Panitia Angket kepada Presiden. Demikian aturannya :
Pasal 202
(1)   Panitia Angket ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara
(2)   Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup juga penentuan biaya Panitia Angket
(3)   Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden
(4)   Ketentuan mengenai Panitia Khusus berlaku bagi Panitia Angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2)
Dalam Pasal 203 diatur Panitia Angket kemudian akan melakukan penyelidikan. Selain meminta keterangan dari Pemerintah, Panitia Angket dapat meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi yang profesi, dan/atau pihak yang terkait lainnya. Adapun tahapan tugas Panitia Angket adalah sebagai berikut :
Pasal 204
(1)   Melaksanakan tugasnya, Panitia Angket dapat memanggil warga Negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan
(2)   Warga Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan Panitia Angket
(3)   Dalam hal warga Negara Indonesia  dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, Panitia Angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia
(4)   Bantuan Kepolisian Negara Republin Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas permintaan pimpinan DPR kepada kepala kepolisian Negara republic Indonesia
(5)   Pendanaan untuk pelaksanaan bantuan kepolisian Negara republic Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada anggaran DPR.
Panitia angket pun berhak meminta pejabat Negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Hal ini diatur dalam pasal 205 :
Pasal 205
(1)   Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat Negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan
(2)   Panitia khusus meminta kehadiran pejabat Negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat meminta secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya
(3)   Pihak sebagaimana diatur pada ayat (1) wajib hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus
(4)   Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena suatu alasan yang sah
(5)   Dalam hal pihak sebagaimana diatur pada ayat (1) tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta satu kali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan
(6)   Dalam hal pihak sebagaimana yang diatur pada ayat (1) tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang sah atau menolak hadir, yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh kepolisian Negara republic indonesia atas permintaan panitia khusus.
(7)   Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (limabelas) hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Panitia Angket diwajibkan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya Panitia Angket. Dalam rapat paripurna, DPR akan mengambil keputusan terhadap laporan Panitia Angket. Laporan tersebut kemudian dibagikan kepada semua anggota. Pengambilan keputusan tentang laporan Panitia Angket didahului dengan laporan Panitia Angket dan pendapat akhir fraksi. Kemudian mekanisme selanjutnya adalah sebagai berikut :
Pasal 208 :
(1)   Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada pasal 206 ayat (2) memutuskan bahsa suatu undang-undang  dan/atau kebijakan pemerintahn yang berkaitan denga hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, DPR dapat mengunakan Hak menyatakan pendapat.
(2)   Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada pasal 206 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali.
(3)   Keputusan DPR sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.
(4)   Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaika oleh pmpinan DPR kepada Presiden paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan diambil dalam rapat paripurna DPR.
(5)   DPR dapat menindaklanjuti keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kewenangan DPR menurut ketentuan perundang-undangan.
Dalam proses penyidikan, KPK menerima pengembalian dari korporasi Rp.220 Miliar dari total kerugian Negara Rp.2,3 triliun. Selain itu, 14 (empatbelas) orang telah mengembalikan uang hasil korupsi senilai Rp.30 miliar yang didominasi anggota DPR dari berbagai partai politik.
Persoalannya ialah sejauh mana independensi KPK dapat diteggakkan ?
Pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD menyayangkan sikap ketua KPK Agus Rahardjo yang menyatakan banyak nama terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan E-Ktp. Mantan ketua Mahkama Konstitusi (MK) tersebut menilai pernyataan yang dikeluarkan sebelum sidang justru mengundang pihak-pihak untuk bergerilya.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan KPK akan mengungkapkan sejumlah nama baru yang akan dibidik terkait kasus korupsi E-Ktp. KPK akan mengungkap informasi termasuk nama, perbuatan dan peran, serta unsur-unsur lain untuk membuktikan korupsi dalam pengadaan E-KTP.
KPK harus menangani dengan serius dan mengungkap kasus Korupsi pengadaan E-KPT tersebut sampai tuntas. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap KPK akan tetap terjaga. Jangan sampai KPK tidak dipercaya oleh masyarakat. Ini adalah saatnya KPK untuk menunjukkan kinerja mereka. Dan dengan begitu maka akan terlihat bagaimana indenpendesi KPK dalam menangani kasus E-KTP tersebut.
C.    Sumber-sumber
-          Arti-defenisi-pengertian.info/pengertian-arti-hak-angket/
-          Id.m.wikipedia.org
-          Kumparan.com
-          Mediaindonesia.com
-          Metrotvnews.com

-          Detik.com

Unsur-Unsur Proses Hukum Acara Pidana

  TAHAP PROSES PIDANA DASAR TINDAKAN HAK-HAK TERTUDUH Penahanan sementara oleh polisi ...