Sabtu, 23 Juni 2018

Asas Retroaktif dalam Hukum Acara Peradilan Ham

UJIAN AKHIR SEMESTER
HUKUM ACARA PERADILAN HAM



                   NAMA                   : HARIADY PUTRA ARUAN
                   NIM                      : 1604551150
                   KELAS                 : B
                   MATA KULIAH     : HUKUM ACARA PERADILAN HAM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
Soal :
1.     Cermati Asas Retroaktif dalam Hukum Acara Peradilan Ham
Asas Retroaktif atau hukum berlaku surut tercantum dalam penjelasan pasal 4 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yakni:
a.    Yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa senjata, dan keadaan perang
b.   Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah negara pemerintah dan atau anggota masyarakat
c.    Hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualika dalam jal pelanggaran HAM berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap Kemanusiaan
.  Kedudukan Asas Retroaktif diperkuat dengan ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang tertera sebagai berikut; “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.” Dengan adanya ketentuan tersebut telah jelas bahwa Indonesia melegalkan asas retroaktif pada penggaran berat terhadap hak asasi manusia. Ketentuan Asas Retroaktif dalam kedua Undang-Undang tersebut sempat menjadi perdebatan di DPR-RI saat pembahasan Undang-Undang. Namun akhirnya fraksi-fraski di DPR RI menyetujui adanya pemberlakuan hukum berlaku surut dengan alasan pelanggaran HAM adalah tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Untuk itu penangannya berbeda dan pemberlakuan asas retroaktif di dalamnya merupakan kekhususan lain yakni hanya untuk Pelanggaran HAM Berat yang dikhususnya untuk Kejahatan Kemanusiaan. pemberlakuan asas retroaktif harus dibatasi secara rigid dan limitative, yakni khusus pada extra ordinary crime.
Pemberlakuan asas retroaktif jelas bertentangan dengan beberapa ketentuan pasal 28 I Undang-undang yakni Undang-undang Negara Republik Indonesia , ketentuan asas legalitas yang terdapat di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP dan isi pasal 4 Undang-undang HAM.

2.     Cermati perlindungan korban dan saksi dalam Hukum Acara Peradilan Ham
Pasal 7 undang –undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAMmenyatakan bahwa terdapat 2 bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat yakni
a.    Kejahatan genocida
Diatur dalam pasal 8 UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa Kejahatan Genocida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, serta kelompok agama dengan cara :
-      Membunuh anggota kelompok
-      Mengakibatkan penderitaan fisik atau ental yang berat terhadap anggota – anggota kelompok
-      Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh maupun sebagian
-      Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
-      Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lainnya
b.   Kejahatan terhadap kemanusiaan
Terdapat di dalam pasal 7 huruf b yang menyatakan bahwa yang di maksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan ditunjukkan secara langsung terhadap penduduk sipil yang berupa ;
-      Pembuhunan
-      Pemusnahan
-      Perbudakan
-      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
-      Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional
-      Penyiksaan
-      Perkosaan
-      Penganiayaan terhadap suatu kelompok
-      Penghilangan orang secara paksa
-      Kejahatan apartheid
Terhadap kejahatan genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diatas maka perlu dilakukan upaya perlindungan terhadap saksi dan korban
Perlindungan hukum yang diberikan kepada korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat menurut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah sebagai berikut :
Perlindungan korban dan saksi menurut Pasal 34 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah :
a.    Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun.
b.   Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
c.    Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat menentukan perlindungan yang diperoleh korban dan saksi adalah :
a.    Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari aparat penegak hukum dan aparat kemanan.
b.   Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat kemanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sedangkan pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat, perlindungan yang diberikan meliputi :
a.    Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dari ancaman fisik dan mental;
b.    Perahasiaan identitas korban dan saksi;
c.    Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.

3.     Pelanggaran ham berat merupakan extra ordinary crime , cermati
Extra ordinary crime berarti kejahatan yang memiliki unsur meluas dan sistematik. Meluas berarti memiliki daya jangkau yang luas dan menimbulkan banyak korban. Kata “meluas” juga termasuk kata “Massive” yang artinya kejahatan yang telah diulang-ulang. Sedangkan sistematik merupakan suatu model yang terorganisir untuk melakukan kejahatan. Ketiga sifat extra ordinary crime tersebut harus diartikan secara bersamaan agar didapat pengertian yang utuh. Sehingga telah terbentuk sistem yang rapi ketika kejahatan dilakukan. Yang termasuk kedalam kejahatan luar biasa atau Extraordinary Crime adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genicida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan yang dikategorikan sebagai musuh seluruh masyarakat di dunia. Literature hukum menyatakan bahwa kejahatan genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan jus cogens yakni dianggap mutlak dan tidak dapat diabaikan.
Dalam sejarahnya penghukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi pasca perang dunia kedua.
Dalam undang-undang Pengadilan HAM kejahatan genocida dan kejahatan terjadap kemanusiaan dikategorikan sebagai kejahatan pelanggaran HAM berat.  UU ini juga menyatakan secara tegas bahwa kedua kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan berdampak secara luas dan bukan di atur dalam KUHP.
Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan “biasa” lainnya maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus. Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus. Beberapa prinsip dalam hukum pidana yang diatur secara berbeda dalam UU No. 26 adalah adanya penegasan tentang dapat diberlakukan asas non retroatif dan tidak adanya masa daluarsa terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.


4.     Cermati 7 proses beracara didepan peradilan Ham
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
1.    Penyelidikan
Dilakukan oleh Komnas HAM yang bertujuan untuk memberikan objektivitas hasil penyelidikan. Penyelidik berwenang
a.    Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat
b.   Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadiya pelanggaran HAM berat serta mencari keterangan alat bukti
c.    Memanggil pihak pengadu
d.   Memanggil pihak saksi
e.    Memanggil pihak terkait
f.     Melakukan pemeriksaan suar, penggeledahan dan penyitaan
2.     Penyidikan
Dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat Oenyidik ad hoc yang tediri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Penyelidikan diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyedilikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik
3.     Penuntutan
Dilakukan oleh Jaksa Agung. Penuntutan dilakukan paling lama 70 hari sejak tanggal hasil penyidikan diterima
4.     Pemeriksaan di Pengadilan
Dilakukan olej majelis hakim Pengadilan HAM yang berjumlah 5 orang. Terdiri atas 2 orang hakim pengadilan HAM dan 3 oleh Hakim ad hoc.
Perkara paling lama 180 hari diperiksa dan diputus sejak perkara di limpahkan ke pengadilan HAM. Banding pada Pengadilan Tinggi dilakukan paling lama 90 hari terhitung sejak perkara di limpahkan ke Pengadilan Tinggi. Kasasi paling lama 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke Mahkamah Agung.














DAFTAR PUSTAKA

Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia
Kuncoro Purbopranoto, 1969, Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Yogyakarta : Pradja Paramita
Miriam Budiardjo, 1985, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia
Mahsyur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Jakarta : Ghalia Indonesia
Todung Mulya Lubis, 1982, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Sinar Harapan

Peraturan Perundang –Undangan
-        Undang-Undang Dasar 1945
-        Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
-        Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia



Sabtu, 16 Juni 2018

Personalitas Hukum Organisasi Internasional Bila Dikaitkan Dengan Reparation For Injuries Case 1949

INTERNATIONAL LAW
LEGAL PERSONALITY OF INTERNATIONAL ORGANIZATION



                        NAMA                       : HARIADY PUTRA ARUAN
                        NIM                            : 1604551150
                        KELAS                      : A
                        MATA KULIAH      : HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL






FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR

2018


KATA PENGANTAR
            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatnya saya dapat menyelesaikan tugas paper mata kuliah Hukum Organisasi Internasional ini. Saya berharap paper ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai personalitas hukum organisasi internasional.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam paper ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu saya berharap adanya kritik dan saran serta masukan demi perbaikan paper yang telah saya buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
            Semoga paper sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat dengan baik dan saya meminta maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan .





Denpasar, 4 Juni 2018


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1.            Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2.            Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2
2.1  Personalitas Hukum Organisasi Internasional................................................ 2
2.2  Personalitas Hukum Organisasi Internasional Bila Dikaitkan Dengan Reparation for Injuries Case 1949    ................................................................................................................. 5
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 7
3.1  Kesimpulan.................................................................................................... 7
3.2  Saran.............................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 9



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Subjek hukum internasional dapat diartikan sebagai suatu entitas yang cakap memiliki hak dan kewajiban serta kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dalam gugatan atau tuntutan melalui pengadilan atau mahkamah internasional.[1] Dewasa ini yang menjadi subjek hukum internasional tidak terbatas pada Negara saja. Selain Negara, organisasi internasional juga termasuk kedalam subjek hukum internasional. Akan tetapi terdapat perbedaan mendasar antara kedua subjek hukum internasional ini, yaitu personalitas hukum yang dimiliki oleh keduanya. Dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya, maka Negara merupakan subjek hukum yang sempurna, yang personalitas hukum internasionalnya tidak perlu diragukan lagi. Sebaliknya masih ada yang memperdebatkan personalitas hukum organisasi internasional sekaligus kapasitas hukumnya (legal capacity), walaupun hal itu tersirat di dalam perjanjian pendiriannya.

1.2.  Rumusan Masalah
1.      Mengapa personalitas hukum penting bagi sebuah organisasi internasional ?
2.      Bagaimana personalitas hukum suatu organisasi internasional berdasarkan pada Reparation for Injuries Case 1949 ?





BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Personalitas Hukum Organisasi Internasional
Subjek hukum internasional di defenisikan sebagai ‘an entity capable of prossesing international rights and duties and endowed with the capacity to take legal action in the international plane’[2] merujuk pada defenisi ini, maka Negara merupakan subjek hukum internasional penuh yang mempunyai personalitas hukum (legal Personality) dan kapasitas hukum (Legal Capacity) yang tidak terbatas. Dalam artian seluruh hak dan kewajiban internasional melekat pada Negara yang merupakan ‘the original, primary, and universal subject of international law’.[3]
Personalitas hukum adalah yang menentukan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum. Dengan beragamnya subjek hukum internasional maka definisi dari personalitas hukum tidak bersifat absolut, sebab personalitas hukum itu sendiri mengikuti pengakuan yang diberikan oleh masing-masing instrumen hukum.
Personalitas hukum sebuah organisasi internasional dapat secara jelas dicantumkan dalam traktat pendiriannya. Namun harus dipahami bahwa, meskipun sebuah organisasi internasional tidak mencantumkan secara jelas dalam traktat pendiriannya tidak berarti organisasi internasional tersebut tidak mempunyai personalitas hukum internasional. Sebuah organisasi mungkin eksis tapi tidak mempunyai badan/organ dan tujuan yang jelas untuk dikategorikan sebagai personalitas.[4] Pernyataan secara jelas dalam traktat pedirian dapat memberikan kejelasan status dari organisasi internasional tersebut bagi Negara lain non-anggota. Jika Negara non-anggota meragukan kompetensi dari organisasi dalam melaksanakan hubungan internasional, maka pengaturan yang jelas dalam traktat pedirian akan sangat membantu menjawab keraguan ini. organisasi internasional yang mencantumkan secara jelas dalam traktat pendiriannya tentang personalitas hukumnya maka tidak diragukan lagi bahwa organisasi tersebut berstatus sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan organisasi yang tidak mencantumkan dalam traktat pendiriannya.
Sudah diakui bahwa organisasi internasional sama halnya seperti Negara adalah subjek hukum internasional. Namun antara keduanya terdapat perbedaan yaitu:
1.      Unsur kedaulatan, jika Negara merupakan sebuah entitas berdaulat (a sovereign entity), maka organisasi internasional terdiri dari Negara-negara berdaulat.
2.      Negara karena hukum memiliki wilayah territorial tertentu untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Sebaliknya organisasi internasional tidak memiliki wilayah tetapi organisasi internasional dapat mengelolah sebuah wilayah. Contoh United Nations Interim Administration Mission in Kosovo (UNMIK).
3.      Tidak seperti Negara, organisasi internasional tidak dapat beracara didepan mahkamah internasional (Pasal 34 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyatakan bahwa hanya Negara yang dapat membawa perkara di depan Mahkamah Internasional).
Berkaitan dengan personalitas hukum organisasi internasional ini, menurut hukum internasional terdapat tiga teori utama, yaitu:
1.      Teori subjektif atau teori keinginan (will theory)
Teori kontrak atau teori subjektif menyatakan bahwa personalitas hukum dari organisasi internasional tersebut berasal dari keinginan Negara yang dinyatakan secara eksplisit yang biasanya diwujudkan dalam sebuah perjanjian internasional yang konstitutif (constitutive treaty). Teori ini dapat dipahami dengan baik karena dasar dari hukum internasional adalah kesepakatan Negara (consent of states). Teori ini mengakui personalitas hukum organisasi internasional tidak penuh seperti Negara, namun terbatas pada hak dan kewajiban yang secara jelas dinyatakan dalam instrument organisasi yang memuat pendelegasian kedaulatan Negara-negara anggota kepada organisasi.
Banyak organisasi internasional yang mencantumkan personalitas hukum secara eksplisit pada perjanjian konstitutifnya, bahkan sebuah organisasi internasional dapat mengatur bukan hanya personalitas hukum namun juga rincian hak dan kewajiban sekaligus didalam perjanjian konstitutifnya yang memberikan kekuasaan lebih luas meliputi kewenangan di bidang keperdataan. Namun banyak organisasi internasional saat ini yang tetap mempunyai international legal personality meskipun hal tersebut tidak tertuang dalam charter instrument pendirian organisasi internasional tersebut secara eksplisit.[5]
2.      Teori objektif
Teori objektif menyatakan bahwa sejauh organisasi internasional tersebut bekerja secara mandiri (a sufficiently autonomous manner), maka organisasi internasional ini telah memiliki kemauan (a will), terlepas dari pengaruh atau kemauan Negara-negara anggota organisasi sebagai pembuatnya. Dengan demikian organisasi tersebut secara ipso facto merupakan subjek hukum internasional (international legal person). Menurut teori ini, legal personality dari sebuah organisasi internasional itu tidak tergantung pada maksud atau keinginan (subjective will) dari Negara-negara anggotanya, tetapi hal ini merupakan suatu hal yang merekat pada organisasi berdasar hukum internasional (bestowed upon the organizations by international law).[6] Artinya, ketika sebuah organisasi internasional memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai organisasi internasional maka secara otomatis organisasi internasional tersebut memiliki personalitas hukum internasional.[7]
3.      Teori implisit atau fungsional
Teori ini didasarkan pada pendapat hukum (advisory opinion) dari mahkamah internasional. Menurut teori implisit (the implied powers) atau teori fungsional (functional theory) ini sebuah organisasi mempunyai hak yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, meskipun hak tersebut tidak terdapat dalam traktat konstituennya (constituent instrument). Teori ini berpendapat bahwa organisasi internasional mempunyai suatu personalitas hukum perolehan (a derived legal personality) yang merupakan akibat dari status yang ada pada organisasi, secara eksplisit ataupun implisit diberikan oleh dokumen kosntitutif organisasinya.[8]  Jika sebuah organisasi internasional menjalankan fungsinya melalui organ-organnya di masyarakat internasional misalnya membuat perjanjian, pertukaran para diplomat mereka,  atau mengerahkan pasukan internasional, menurut teori implisit ini organisasi internasional telah mempunyai personalitas hukum internasional (international legal personality) sejauh diperlukan untuk memenuhi fungsinya, meskipun instrument pendiriannya tidak mengaturnya secara jelas.
Personalitas hukum sangat dibutuhkan oleh organisasi internasional karena memberikan kewenangan untuk mengajukan klaim di Mahkamah Internasional, menikmati hak dan menjalankan kewajiban dalam lapangan hukum internasional, untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum internasional, dan membentuk traktat.

2.2.  Personalitas Hukum Organisasi Internasional Bila Dikaitkan Dengan Reparation For Injuries Case 1949
Reparation for Injuries Case merupakan kasus yang melahirkan penegasan terhadap personalitas yuridik organisasi internasional. Kasus ini terjadi pada tahun 1948 dan kemudian Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) memberikan advisory opinion pada tahun 1949. Dalam kasus reparasi (Reparation for injuries case 1949) Mahkamah internasional (the international court of justice atau ICJ) yang mengakui hak dari PBB untuk mengajukan gugatan terhadap Israel meskipun hak tersebut tidak terdapat dalam piagam PBB (hal ini sesuai dengan teori implisit atau fungsional yang memberikan sebuah organisasi hak yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, meskipun hak tersebut tidak terdapat dalam traktat konstituennya (constituent instrument)).
Dalam kasus reparasi, Mahkamah internasional menekankan empat karakteristik utama untuk personality Hukum internasional, yaitu:
1.      The legal personality must be indispensable to achievement of the organization’s objective;
2.      The organization is equipped with organs and has special tasks; and
3.      The organization itself must be distinct from the independent of its            members states;
4.      The legal personality has been confirmed by its member states in the practice, namely, the existence of legal powers exercisable on the international plane and not solely within the national systems of one or more states.
Dari batasan tersebut maka personalitas hukum merupakan hal yang harus ada untuk pencapaian tujuan organisasi, organisasi harus mempunyai organ yang mempunyai tugas spesifik dan organisasi harus berbeda dan tidak dapat dipengaruhi oleh Negara-negara anggotanya, dan harus ada kewenangan dan kekuasaan yang nyata dari organisasi yang dapat dijalankan dalam hubungan internasional bukan hanya di lingkup hukum nasional Negara anggota semata.
Malcom Shaw menyatakan bahwa personalitas hukum organisasi internasional tergantung pada konstitusi organisasi yang bersangkutan, kekuasaan nyata dari organisasi,  dan praktek yang ada di dalamnya termasuk kewenangan untuk mengadakan hubungan, membuat perjanjian dengan subjek hukum internasional lainnya seperti Negara dan organisasi internasional lainnya.[9] Sedangkan Seryested menyatakan bahwa personalitas hukum organisasi internasional meliputi kriteria yaitu mempunyai organ internasional (yaitu organ yang dibentuk dari dua atau lebih Negara yang berdaulat) yang bukan kekuasaan dari suatu Negara atau komunitas negara-negara, namun melalui perwakilan mereka pada organ tersebut. Organ ini melaksanakan hubungan internasional merefleksikan kedaulatan atas nama mereka sendiri dan bukan karena diberi kewenangan oleh Negara-negara anggota. Tindakan ini sebagai asumsi kewajiban atas nama Negara-negara anggota. Namun perlu diingat, bahwa tidak seperti Negara, dalam menjalankan haknya organisasi terikat pada prinsip terbatas (a principle of functional limitation).
Terlepas dari analisis mendalam secara mendetail mengenai kasus ini, hal ini telah membawa suatu perubahan yang besar terhadap organisasi internasional. Keputusan ICJ yang menetapkan bahwa PBB dan organisasi internasional lainnya memiliki personalitas yuridik telah menjadikan kedudukan organisasi internasional menjadi lebih kuat sebagai subjek subjek hukum internasional sehingga memiliki hak-hak sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi, pihak-pihak yang menjadi bagian dalam ICJ hanyalah negara sesuai dengan pasal ICJ. Dan juga ditambah dengan keterikatan terhadap pernyataan dan keputusan sidang PBB itu sendiri bahwa organisasi internasional hanya diberikan sebagai satatus peninjau (observer).
BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Personalitas hukum adalah yang menentukan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum. Dengan beragamnya subjek hukum internasional maka definisi dari personalitas hukum tidak bersifat absolut, sebab personalitas hukum itu sendiri mengikuti pengakuan yang diberikan oleh masing-masing instrumen hukum.
Terdapat perbedaan antara Negara dan organisasi internasional sebagai sebuah subjek hukum internasional, yaitu: (a) unsur kedaulatan, (b) wilayah territorial, dan (c) organisasi internasional tidak dapat beracara di depan Mahkamah Internasional berdasarkan pada Pasal 34 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyatakan bahwa hanya Negara yang dapat membawa perkara di depan Mahkamah Internasional.
Berkaitan dengan personalitas hukum organisasi internasional ini, menurut hukum internasional terdapat tiga teori utama, yaitu: (a) Teori subjektif atau teori keinginan (will theory), (b) Teori objektif, dan (c) Teori implisit atau fungsional.
Personalitas hukum sangat dibutuhkan oleh organisasi internasional karena memberikan kewenangan untuk mengajukan klaim di Mahkamah Internasional, menikmati hak dan menjalankan kewajiban dalam lapangan hukum internasional, untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum internasional, dan membentuk traktat.
Setelah terjadinya kasus reparasi, Keputusan ICJ yang menetapkan bahwa PBB dan organisasi internasional lainnya memiliki personalitas yuridik telah menjadikan kedudukan organisasi internasional menjadi lebih kuat sebagai subjek subjek hukum internasional sehingga memiliki hak-hak sebagai subjek hukum internasional, yang mana pada saat itu Mahkamah internasional (the international court of justice atau ICJ) yang mengakui hak dari PBB untuk mengajukan gugatan terhadap Israel meskipun hak tersebut tidak terdapat dalam piagam PBB. (hal ini sesuai dengan teori implisit atau fungsional yang memberikan sebuah organisasi hak yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, meskipun hak tersebut tidak terdapat dalam traktat konstituennya (constituent instrument)).
3.2.  Saran
Berdasarkan kepada uraian sebelumnya maka penulis dapat memberikan saran berupa:
1.      Mahkamah Internasional memberikan batasan-batasan yang lebih jelas terkait kriteria apa saja yang dapat membuat sebuah organisasi internasional dianggap memiliki personalitas hukum internasional
2.      Mahkamah Internasional memberikan batasan-batasan yang lebih jelas terkait hak dan kewajiban yang dimiliki oleh suatu organisasi internasional yang telah memiliki personalitas hukum internasional
3.      Mahkamah Internasional menghimbau kepada seluruh organisasi internasional agar mencantumkan secara jelas personalitas hukum mereka dalam traktat pendiriannya agar lebih jelas dan dapat memberikan kejelasan apabila timbul keraguan terhadap hak dan kewajiban organisasi tersebut di duinia internasional.












DAFTAR PUSTAKA

Esa Paasivirta, 1997, European Union: From an Aggregate of states to a legal person, Hofstra Law & Policy Symposium.
Finn Seryested, 1964, Objective International Personality of Intergovernmental Organizations, 34 NJIL.
Henry G Schermers & Niels M Blokker, Tanpa Tahun, Internatioanl Institution Law, International Institutional Law, Martinus Nijhoff Publisher
Ian Brownlie, 2008, Principles of Public International Law, Oxford University Press.
Malcom Shaw, 1997, International Law, Cambridge University Press, Inggris.
Muhammad Ashri, 2016, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan Perdamaian, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
P R Menon, 1992, The Legal Personality of International Organization, 4 SJIL
Peter Malanchzuk, 2002, Akehurst’s: Modern Introduction to International Law, Seventh revised Edition, Routledge, h. 91.



[1] Muhammad Ashri, 2016, Hukum Internasional dan Hukum Islam tentang Sengketa dan Perdamaian, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.41.
[2] P R Menon, 1992, The Legal Personality of International Organization, 4 SJIL, h. 79.
[3] Peter Malanchzuk, 2002, Akehurst’s: Modern Introduction to International Law, Seventh revised Edition, Routledge, h. 91.
[4] Ian Brownlie, 2008, Principles of Public International Law, Oxford University Press, h. 678.
[5] Esa Paasivirta, 1997, European Union: From an Aggregate of states to a legal person, Hofstra Law & Policy Symposium, h. 43.
[6] Henry G Schermers & Niels M Blokker, Tanpa Tahun, Internatioanl Institution Law, International Institutional Law, Martinus Nijhoff Publisher, h. 1565.
[7] Finn Seryested, 1964, Objective International Personality of Intergovernmental Organizations, 34 NJIL, h.3.
[8] Schermers & Blokker, op.cit, h.1566.
[9] Malcom Shaw, 1997, International Law, Cambridge University Press, Inggris, h. 191.

Unsur-Unsur Proses Hukum Acara Pidana

  TAHAP PROSES PIDANA DASAR TINDAKAN HAK-HAK TERTUDUH Penahanan sementara oleh polisi ...