GENDER DALAM HUKUM
Analisis Yuridis
Data Statistik Pegawai Laki-Laki dan Perempuan di Beberapa Perusahaan Besar
menggunakan Pendekatan Gender
NAMA : Hariady Putra Aruan
NIM : 1604551150
KELAS : C Reguler Pagi
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
UDAYANA
2017
A.
Latar
Belakang
Konsep
kesetaraan gender menurut Rowbotham lahir dari pemberontakan kaum perempuan di
Negara-negara barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad
lamanya. Indonesia juga memiliki sejarah yang panjang dalam memperjuangkan
kesetaraan gender di segala bidang kehidupan tanpa terkecuali di bidang
pemerintahan dan hukum. Sejak era Kartini, kaum perempuan diindonesia mulai
menyadari arti pentingnya kesetaraan gender dalam memperoleh hak-hak public
seperti yang diperoleh oleh kaum lelaki. Jaminan persamaan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan khususnya dibidang pemerintahan dan hukum telah diatur
dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.” Pada kenyataannya masih banyak program pembangunan yang lebih
memihak kepada kaum laki-laki daripada kaum perempuan.
Isu
gender dalam kehidupan saat ini adalah hal yang sering didengar. Banyak sekali
terjadi penyimpangan dan ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat.
Dengan dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang tentang
Pengarustamaan Gender merupakan bukti bahwa isu gender dalam masyarakat yang
terus berkembang belum mendapat penanganan khusus untuk penyelesaiannya. Bahkan
partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia sangat rendah.
Sehingga perlu dilakukan analisis yuridis terhadap isu gender tersebut dengan
data statistic sebagai bahan utama dalam analisis ini.
B.
Data
statistic perbedaan jumlah karyawan laki-laki dan perempuan di beberapa
perusahaan besar.
C. Analisis Yuridis dengan Pendekatan
Gender
Untuk
meningkatkan perlindungan terhadap pegawai perempuan telah dibuat suatu
peraturan dalam Undang-Undang yang mampu meningkatkan kenyamanan kaum perempuan
dalam bekerja dan terjaminnya hak-hak yang mereka miliki. Dalam beberapa
peraturan perundang-undangan telah mengatur perlindungan terhadap kaum
perempuan, hal ini dikarenakan norma-norma hukum netral yang selama ini belum
mampu menunjukkan hasil dalam hal kesetaraan gender. Perbedaan jumlah antara
laki-laki dan perempuan dalam statistic tersebut apabila ditinjau dari segi
yuridis juga dipengaruhi oleh beberapa hal penting seperti pada Pasal 76 UU No
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan banyak pasal yang melindungi kaum
perempuan secara khusus seperti pada Pasal 76
poin
(1) dikatakan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18
(delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan
pukul 07.00”, dari pasal ini saja sudah terlihat bahwa UU ini melindungi kaum
perempuan secara khusus dan pada UU tersebut tidak ada bagian yang mengatur hal
serupa terhadap kau laki-laki. Hal ini yang mungkin menjadi alasan bagi banyak
perusahaan untuk lebih memilih untuk mempekerjakan kaum laki-laki yang tidak
terlalu banyak membutuhkan perlindungan khusus/ keperluan khusus seperti yang
dibutuhkan oleh kaum perempuan. Terlebih, perusahaan-perusahaan besar cenderung
mengejar target yang tinggi dan untuk mencapai target yang tinggi tersebut
kadang kala pekerja harus bekerja ekstra dan lembur yang mana kaum perempuan
tidak dapat melakukan hal tersebut yang membuat pihak perusahaan harus memilih
kaum laki-laki untuk bekerja. Dan apabila kita melihat pada UU dan Pasal yang
sama dengan poin berbeda yaitu
pada
poin (3) dikatakan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a. memberikan makanan dan
minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat
kerja”. Dari pasal ini juga kita dapat melihat kecenderungan UU tersebut dalam
melindungi kaum perempuan secara khusus yang bahkan pada kaum laki-laki UU
tersebut tidak mencantumkan peraturan yang serupa. Pada poin tiga ini pihak
perusahaan diwajibkan untuk memberikan pelayanan kepada para pegawai perempuan
yang mana ‘mungkin saja’ pelayanan tersebut membutuhkan dana yang besar dan
membuat beberapa perusahaan mengurangi jumlah pegawai perempuan untuk menekan
dana pelayanan tersebut yang membuat jumlah pegawai laki-laki lebih banyak
daripada pegawai perempuan. Dalam hukum hal tersebut tidak salah karena
penerimaan pegawai baik laki-laki maupun perempuan diatur oleh pihak perusahaan
yang bersangkutan selama tidak terjadi diskriminasi antar gender dan juga UU
tersebut hanya memberikan perlindungan terhadap kau perempuan yang terbilang
lebih lemah daripada kaum laki-laki.
Apabila kita memperhatikan data statistic diatas dengan
didasari oleh peraturan Perundang-undangan yang telah di uraikan sebelumnya,
maka data statistic diatas ternasuk kedalam responsive gender yang mana
responsive gender memiliki sifat berpihak kepada gender yang lebih lemah dan
dalam konteks ini gender yang lebih lemah adalah perempuan. Undang-undang
tersebut memberikan perlindungan lebih kepada kaum perempuan guna meningkatkan
kesejahteraan dalam pekerjaan walaupun jika diperhatikan tanpa meninjau dari
undang-undang yang telah diuraikan dapat dikategorikan sebagai bias gender
karena juga berpihak kepada salah satu gender akan tetapi memiliki potensi
untuk merugikan gender lainnya.
Factor-faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya
responsive gender tersebut adalah:
1.
Factor fisik perempuan yang lebih lemah
apabila dibandingkan dengan fisik seorang laki-laki.
2.
Adanya pelabelan buruk oleh masyarakat
terhadap kaum perempuan yang pulang larut malam.
3.
Factor komitmen pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam bidang pekerjaan yang telah
diimplementasikan dalam pembentukan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang
mengatur tentang Ketenagakerjaan.
4.
Adanya nilai-nilai yang belum diketahui
oleh masyarakat seperti Emansipasi Wanita.
5.
Pandangan masyarakat mengenai kemampuan
yang dimiliki oleh perempuan masih cukup rendah.
6.
Derajat partisipasi perempuan yang masih
minim dan kurang aktif
7.
Pemberdayaan kaum perempuan yang masih
cukup minim.
8.
Masih banyak kaum perempuan yang
kekurangan di bidang pendidikan yang juga menjadi suatu penghalang dalam
mencari pekerjaan di sebuah perusahaan
Dalam
mengatasi isu gender ini pemerintah harus bergerak cepat dan memberikan solusi
terbaik agar tercipta kesetaraan gender dan tiap-tiap gender mendapa hak yang
seharusnya mereka dapatkan. Pemerintah harus lebih meningkatkan di bidang
peningkatan mutu sumber daya manusia dengan memberikan dan menyediakan
pendidikan yang baik kepada setiap gender karena tanpa pendidikan bagaimana
mungkin mereka dapat bekerja di suatu perusahaan. Terlebih lagi setelah
meningkatkan dibidang pendidikan pemerintah juga harus menciptakan lapangan pekerjaan yang merata dan terporsi jadi
setiap gender baik laki-laki maupun perempuan memiliki porsi, kedudukan dan
wewenang yang sama di bidangnya dan tidak terdapat diskriminasi gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar