Sabtu, 10 Juni 2017

Pengertian, Tujuan, Sejarah Pengantar Hukum Indonesia serta perbedaan PHI dan PIH

PENGERTIAN PHI, TUJUAN PHI, PERBEDAAN PHI DAN PIH, SERTA SEJARAH PHI


Nama                             : Hariady Putra Aruan
Nim                               : 1604551150
Kelas                             : C Reguler
Dosen Pengampu           : Dr. I Wayan Novy Purwanto, SH,M.Kn
Mata kuliah                    : Pengantar Hukum Indonesia (PHI)




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
PENGERTIAN PHI
Pengertian PHI atau Pengantar Hukum Indonesia terdiri dari tiga kata “Penghantar”, “Hukum”, dan “Indonesia”. Pengantar berarti menantarkan pada tujuan tertentu.  yang Pengantar dalam bahas Belanda disebut inleiding dan introduction (bahasa inggris) yang berarti memperkenalkan secara umum atau secara garis besar yang tidak mendalam atas sesuatu hal tertentu. Pada istilah Pengantar Hukum Indonesia yang diperkenalkan secara umum atau secara garis besar adalah hukum Indonesia.
TUJUAN PHI
          Tujuan mempelajari pengantar hukum Indonesia adalah agar mengerti dan memahami sistematika dan susunan hukum yang berlaku diindonesia termasuk mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tata tertib dikalangan anggota masyarakat dan peraturan-peraturan yang diadakan oleh Negara. Dalam mempelajari hukum Indonesia , dapat diketahui perbuatan dan tindakan apa yang memiliki akibat hukum  dan perbuatan yang melanggar hukum, juga bagaimana kedudukan seseorang dalam masyarakat apa kewajiban dan wewenangnya menurut hukum Indonesia.
PERBEDAAN PHI DAN PIH
1.PIH mengantarkan setiap orang untuk mempelajari ilmu hukum pada umumnya, sedangkan PHI mengantarkan setiap orang untuk mempelajari hukum positif di Indonesia.
  2.Objek dari PIH adalah hukum pada umumnya yang tidak terbatas pada hukum positif di negara tertentu, sedangkan objek PHI adalah hukum positif di Indonesia.
Hubungan antara PIH dengan PHI
  1. PIH mendukung/ menunjang kepada setiap orang yang akan mempelajari PHI.
  2. Sebagai suatu ilmu yang berstatus pengantar, ke dua-duanya adalah sama-sama sebagai mata kuliah dasar hukum.

Secara singkat PIH:
1.Mempelajari Hukum secara Umum
2. Mempelajari Asas-asas Hukum
3. Bersifat Universal (Tidak Terkait tempat dan waktu)

Sedangkan PHI:
1.Mempelajari Hukum Positif di Indonesia: Hukum positif adalah Hukum yang sedang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu. Yang berartikan bahwa PHI adalah mempelajari Hukum yang sedang berlaku di Indonesia. Unsur dari PHI adalah Hukum Pidana, Perdata, Tata Negara Dan Administrasi Negara.
2. Terikat Tempat Dan waktu tertentu
3. Bersifat Khusus karena hanya memepelajari Hukum Positif (ius Constitutum) di Indonesia


SEJARAH PHI

Ada beberapa periode sejarahberkembangnya Hukum diindonesia, Yakni:
1.Periode VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk: Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda, Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa. Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri.
2.Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas. Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi,
3.Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; Unifikasi kejaksaan; Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; Pembentukan lembaga pendidikan hukum; Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

Sebelum berlakunya kurikulum 1984, materi kuliah Pengantar HukumIndonesia disebut Pengantar Tata Hukum Indonesia (PTHI). Istilah Tata HukumIndonesia yang dimaksud adalah tatanan atau susunan atau tertib hukum yangberlaku di Indonesia. Penggunaan istilah PTHI menampakkan seolah-olah PTHI mempelajari dan membahas tentang persoalan teknis pembuatan undang-undang dan penemuan hukum (rechtsvorming, rechtsvinding). Oleh karenaitu pada tahun 1984 mata kuliah PTHI dalam kurikulum Fakultas Hukum diubahdan diganti dengan PHI (Pengantar Hukum Indonesia).


Gender dalam Hukum, Analisis Yuridis Data Statistik Pegawai Laki-Laki dan Perempuan di Beberapa Perusahaan Besar menggunakan Pendekatan Gender

GENDER DALAM HUKUM

Analisis Yuridis Data Statistik Pegawai Laki-Laki dan Perempuan di Beberapa Perusahaan Besar menggunakan Pendekatan Gender



NAMA      : Hariady Putra Aruan
NIM           : 1604551150
KELAS      : C Reguler Pagi



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A.    Latar Belakang
Konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham lahir dari pemberontakan kaum perempuan di Negara-negara barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Indonesia juga memiliki sejarah yang panjang dalam memperjuangkan kesetaraan gender di segala bidang kehidupan tanpa terkecuali di bidang pemerintahan dan hukum. Sejak era Kartini, kaum perempuan diindonesia mulai menyadari arti pentingnya kesetaraan gender dalam memperoleh hak-hak public seperti yang diperoleh oleh kaum lelaki. Jaminan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan khususnya dibidang pemerintahan dan hukum telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pada kenyataannya masih banyak program pembangunan yang lebih memihak kepada kaum laki-laki daripada kaum perempuan.
Isu gender dalam kehidupan saat ini adalah hal yang sering didengar. Banyak sekali terjadi penyimpangan dan ketidakadilan gender yang terjadi di masyarakat. Dengan dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang tentang Pengarustamaan Gender merupakan bukti bahwa isu gender dalam masyarakat yang terus berkembang belum mendapat penanganan khusus untuk penyelesaiannya. Bahkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik di Indonesia sangat rendah. Sehingga perlu dilakukan analisis yuridis terhadap isu gender tersebut dengan data statistic sebagai bahan utama dalam analisis ini.

B.     Data statistic perbedaan jumlah karyawan laki-laki dan perempuan di beberapa perusahaan besar.
C.    Analisis Yuridis dengan Pendekatan Gender
Untuk meningkatkan perlindungan terhadap pegawai perempuan telah dibuat suatu peraturan dalam Undang-Undang yang mampu meningkatkan kenyamanan kaum perempuan dalam bekerja dan terjaminnya hak-hak yang mereka miliki. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur perlindungan terhadap kaum perempuan, hal ini dikarenakan norma-norma hukum netral yang selama ini belum mampu menunjukkan hasil dalam hal kesetaraan gender. Perbedaan jumlah antara laki-laki dan perempuan dalam statistic tersebut apabila ditinjau dari segi yuridis juga dipengaruhi oleh beberapa hal penting seperti pada Pasal 76 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan banyak pasal yang melindungi kaum perempuan secara khusus seperti pada Pasal 76
poin (1) dikatakan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00”, dari pasal ini saja sudah terlihat bahwa UU ini melindungi kaum perempuan secara khusus dan pada UU tersebut tidak ada bagian yang mengatur hal serupa terhadap kau laki-laki. Hal ini yang mungkin menjadi alasan bagi banyak perusahaan untuk lebih memilih untuk mempekerjakan kaum laki-laki yang tidak terlalu banyak membutuhkan perlindungan khusus/ keperluan khusus seperti yang dibutuhkan oleh kaum perempuan. Terlebih, perusahaan-perusahaan besar cenderung mengejar target yang tinggi dan untuk mencapai target yang tinggi tersebut kadang kala pekerja harus bekerja ekstra dan lembur yang mana kaum perempuan tidak dapat melakukan hal tersebut yang membuat pihak perusahaan harus memilih kaum laki-laki untuk bekerja. Dan apabila kita melihat pada UU dan Pasal yang sama dengan poin berbeda yaitu
pada poin (3) dikatakan bahwa “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib : a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja”. Dari pasal ini juga kita dapat melihat kecenderungan UU tersebut dalam melindungi kaum perempuan secara khusus yang bahkan pada kaum laki-laki UU tersebut tidak mencantumkan peraturan yang serupa. Pada poin tiga ini pihak perusahaan diwajibkan untuk memberikan pelayanan kepada para pegawai perempuan yang mana ‘mungkin saja’ pelayanan tersebut membutuhkan dana yang besar dan membuat beberapa perusahaan mengurangi jumlah pegawai perempuan untuk menekan dana pelayanan tersebut yang membuat jumlah pegawai laki-laki lebih banyak daripada pegawai perempuan. Dalam hukum hal tersebut tidak salah karena penerimaan pegawai baik laki-laki maupun perempuan diatur oleh pihak perusahaan yang bersangkutan selama tidak terjadi diskriminasi antar gender dan juga UU tersebut hanya memberikan perlindungan terhadap kau perempuan yang terbilang lebih lemah daripada kaum laki-laki.
            Apabila kita memperhatikan data statistic diatas dengan didasari oleh peraturan Perundang-undangan yang telah di uraikan sebelumnya, maka data statistic diatas ternasuk kedalam responsive gender yang mana responsive gender memiliki sifat berpihak kepada gender yang lebih lemah dan dalam konteks ini gender yang lebih lemah adalah perempuan. Undang-undang tersebut memberikan perlindungan lebih kepada kaum perempuan guna meningkatkan kesejahteraan dalam pekerjaan walaupun jika diperhatikan tanpa meninjau dari undang-undang yang telah diuraikan dapat dikategorikan sebagai bias gender karena juga berpihak kepada salah satu gender akan tetapi memiliki potensi untuk merugikan gender lainnya.
            Factor-faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya responsive gender tersebut adalah:
1.      Factor fisik perempuan yang lebih lemah apabila dibandingkan dengan fisik seorang laki-laki.
2.      Adanya pelabelan buruk oleh masyarakat terhadap kaum perempuan yang pulang larut malam.
3.      Factor komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam bidang pekerjaan yang telah diimplementasikan dalam pembentukan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur tentang Ketenagakerjaan.
4.      Adanya nilai-nilai yang belum diketahui oleh masyarakat seperti Emansipasi Wanita.
5.      Pandangan masyarakat mengenai kemampuan yang dimiliki oleh perempuan masih cukup rendah.
6.      Derajat partisipasi perempuan yang masih minim dan kurang aktif
7.      Pemberdayaan kaum perempuan yang masih cukup minim.
8.      Masih banyak kaum perempuan yang kekurangan di bidang pendidikan yang juga menjadi suatu penghalang dalam mencari pekerjaan di sebuah perusahaan

Dalam mengatasi isu gender ini pemerintah harus bergerak cepat dan memberikan solusi terbaik agar tercipta kesetaraan gender dan tiap-tiap gender mendapa hak yang seharusnya mereka dapatkan. Pemerintah harus lebih meningkatkan di bidang peningkatan mutu sumber daya manusia dengan memberikan dan menyediakan pendidikan yang baik kepada setiap gender karena tanpa pendidikan bagaimana mungkin mereka dapat bekerja di suatu perusahaan. Terlebih lagi setelah meningkatkan dibidang pendidikan pemerintah juga harus menciptakan lapangan  pekerjaan yang merata dan terporsi jadi setiap gender baik laki-laki maupun perempuan memiliki porsi, kedudukan dan wewenang yang sama di bidangnya dan tidak terdapat diskriminasi gender.

Rabu, 07 Juni 2017

Mengenal Hukum Pidana

PENGERTIAN HUKUM PIDANA
          Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1.     Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2.     Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
3.     Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.
Pengnertian hukum pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana materiil (poin 1 dan 2), tetapi juga hukum pidana formil (poin 3). Hukum pidana tidak hanya berkaitan dengan penentuan perbuatan yang dilarang dan diancam perbuatan pidana serta kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, tapi juga proses peradilan yang harus dijalankan oleh orang tersebut.
Van Bemmelen secara eksplisit mengartikan hukum pidana dalam dua hal, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurutnya, hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidanayang diancamkan terhadap perbuatan itu. Sedangkan hukum pidana formal adalah mengatur cara bagaimana cara pidana seharusnya dilakukan dan melakukan tata tertib yang harus diperhatikan dalam kesempatan itu. Pengertian Van Bemmelen ini agak sama dengan pengertian hukum pidana yang dikemukakan Moeljatno, yaitu dalam kategori hukum pidana materiil dan hukum pidana formal.
Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum pidana kedalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Menurutnya isi hukum pidana materiil adalah penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana; penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang membuatnya dapat dihukum pidana; dan penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal (hukum acara pidana) berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana materiil, oleh karena, merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.
Sudarto, ahli hukum pidana lain, mendefinisikan hukum pidana sebagai hukum yang memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal ini, maka kitab hukum undang-undang hukum pidana (KHUP) memuat dua hal pokok yaitu:
1.     Memuat pelukisan-pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana.
2.     KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu.
Pengertian yang dikemukakan oleh Sudarto lebih sempit dari pengertian yang diuraikan oleh Moeljatno, Van Bemmelen, dan Wirjono Prodjodikoro. Karena sudarto hanya mengartikan hukum pidana sebagai hukum pidana materiil yakni berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman pidana.
Pengertian hukum pidana juga dikemukakan oleh Adami Chazawi. Dia mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari hukum public yang memuat atau berisi ketentuan-ketentuan tentang:
1.     Aturan umum hukum pidana dan yang berkaitan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negative) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan tersebut.
2.     Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus dibagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.
3.     Tindakan dan upaya-upaya lain yang boleh atau harus dilakukan Negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka dan terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan Negara dalam upaya Negara menegakkan hukum pidana tersebut.
Pengertian hukum pidana yang Adami Chazawi tersebut lebih luas lagi, yang tidak hanya pengertian hukum pidana dalam arti materiil dan formil, tetapi juga dalam arti hukum pidana eksekutoriil. Artinya, hukum pidana tidak hanya berhubungan dengan penentuan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, kapan orang yang melakukan perbuatan pidana itu dijatuhi pidana, dan proses peradilan yang harus dijalankan orang tersebut, tetapi juga bagaimana pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan kepada orang itu.
Andi Zainal Abidin mengartikan hukum pidana meliputi: pertama, perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan Negara yang berwenang; kedua, ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran pelanggaran itu; dan ketiga, kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan itu pada waktu  dan di wilayah Negara tertentu.
Berdasarkan uraian tentang pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli dengan cara pandang yang berbeda-beda diatas, dapat disimpulkan bahwa didalam istilah hukum pidama pada dasarnya tercakup beberapa pengertian. Pertama, adakalanya istilah hukum pidana bermakna sebagai hukum pidana materiil (substantive criminal law), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai perbuatan yang dinyatakan terlarang, hal-hal atau syarat-syarat yang menjadikan seseorang dapat dikenai tindakan hukum tertentu berupa pidana baik sanksi pidana maupun sanksi tindakan. Ketiga hal tersebut dalam khazanah teori hukum pidana lazim disebut dengan perbuatan pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/liability), dan pidana atau tindakan (punishment/treatment).
Kedua, istilah hukum pidana juga bermakna sebagai hukum pidana formil (law of criminal procedure), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai tata cara atau prosedur penjatuhan sanksi pidana atau tindakan bagi seseorang yang diduga telah melanggar aturan dalam hukum pidana materiil.
Ketiga, istilah hukum pidana juga diartikan sebagai hukum pelaksanaan pidana (law of criminal execution), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai bagaimana suatu sanksi pidana yang telah dijatuhkan terhadap seorang pelanggar hukum pidana materiil itu harus dilaksanakan.

ASAS LEGALITAS HUKUM PIDANA
          Asas Legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti anjuran agar dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:
1) tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,
2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan
3) Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.

KEISTIMEWAAN HUKUM PIDANA
Hukum pidana mempunyai keistimewaan yang sering dikatakan sebagai “Pedang Bermata Dua” artinya disatu sisi ia berusaha melindungi kepentingan orang lain (umum), namun di sisi lain ia menyerang kepentingan orang lain, yaitu dengan adanya hukuman yang dijatuhkan pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Keistimewaan hukum pidana terletak pada daya paksaan yang berupa ancaman pidana sehingga hukum ini ditaati oleh setiap individu sebagai subjek hukum.

PERBUATAN PIDANA
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang diancam dengan pidana. Antara larangan dengan  acaman pidana ada hubungan yang erat, seperti hubungan peristiwa dengan oranng yang menyebabkan peristiwa tersebut, utuk menyatakan hubungan tersebut dipakailah kata “perbuatan” yang berarti  suatu pengertian abstrak yang menunjukan kepada dua hal yang konkrit. Istilah lain yang dipakai dalamhukum pidana, yaitu; “tindakan pidana”. Perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah belanda, yaitu; strafbaarfeit, menurut Simon; strafbaarfeit adalah kelakuan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab, berhubungan denga kesalahan  yang bersifat melawan kukum dan diancam pidana.
Dalam perbuatan terdapat unsur-unsur, yaitu: Pertama,  kelakuan dan akibat. Kedua, sebab atau keadaan tertentu yang mentertai perbuatan, menurut Van Hamel; sebab-sebab terbagi dalam dua golongan,  berkaitan dengan diri orang tersebut dan dan di luar diri orang tersebut. Ketiga, kerena keadaan tambahan atau unsur-unsur yang memberatkan. Keempat, sifat melawan hukum. Kelima, unsur melawan hukum secara obyektif dan subyektif.
Perbuatan pidana terbagi atas; tindak kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Selai  dari perbuatan tersebut terdapat pula  yang disebut: Delik dolus (denga kesengajaan) dan delik culva (dengan pengabaian), delik commissionis (melanggar hukum dengan perbuatan) dan delik ommissionis (melanggar hukum dengan tidak melakukan perbuatan hukum), delik biasa dan delik yang dikualifisir (delik biasa dengan unsur-unsur yang memberatkan), delik penerus (dengan akibat perbuatan yang lama) dan delik tidak penerus (akibat perbuatan tidak lama).
Locus delicti atau yang dikenal dengan tempat terjadinya perkara, dikenal dua teeori, yaitu; yang menyatakan tempat terjadinya perkara adalah tempat tedakwa berbuat, dan  yang menyatakan tempat tarjadinya perkara adalah tempat terdakwa berbuat dan mungkin tempat dari akibat perbuatan.
Dalam hukum pidana tingkah laku ada yang bernilai positif dan adayang bernilai negative. Dikatakan positif karena pelaku berperan aktiv, sedangkan dikatakan negative karena pelaku tidak berperan aktiv dan perbuatan yang diharuskan hukum. Dalam tingkah laku yang bernialai positif ada beberapa hal yang tidak terkait, yaitu; gerak yang dilakukan secara reflek. Simon berpendapat bahwa tingkah laku yang positif adalah gerakan otot yang dilakukan yang menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan menurut  Pompe, ada tiga ketentuan dalam tingkah laku, yaitu; ditimbulkan oleh seseorang, jelas atau dapat dirasakan, yang dilarang dalam obyek hukum.

Dalam delik-delik yang dirumuskan secara matriil, terdapat keadaan-keadaan tetentu yang dilarang, untuk itulah diperlukan hubungan kausal, agar dapat diberatkan secara hukum (delik berkwalifisir) dengan merumuskan akibat-akibat dari perbuatan tersebut, sehingga jelas dan terbukti. Maka dari itulah dikenal ajaran tentang hubungan-hubungan kausal.

Asas-asas berlakunya Hukum Adat di Indonesia

DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT DI INDONESIA
BERDASARKAN KEPADA PERSPEKTIF FILOSOFIS, SOSIOLOGIS
DAN YURIDIS

                             NAMA                 : HARIADY PUTRA ARUAN
                             NIM                     : 1604551150
                             KELAS                : C Reguler Pagi
                             MATA KULIAH  : HUKUM ADAT





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatnya saya dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Adat tentang Dasar-dasar berlakunya hukum adat di Indonesia ini. Saya berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Dasar-dasar berlakunya Hukum Adat di Indonesia itu sendiri.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu saya berharap adanya kritik dan saran serta masukan demi perbaikan makalah yang telah saya buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
            Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah ini dapat bermanfaat dengan baik dan saya meminta maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan .







Bukit Jimbaran, 15 Mei 2017


Penulis
PEMBAHASAN
            Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para kepala adat, para hakim, rapat desa, wali tanah, pejabat daerah, pejabat agama, pejabat desa dan yang lainnya yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaanya berlaku secara spontan dan ditaati dengan sepenuh hati serta diterima dan dipatuhi karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.
            Dalam hukum adat terdapat kaidah hukum yang berhubungan dengan dunia diluar dan diatas kemampuan manusia. Hukum adat, yang merupakan hukum nilai-nilai kebudayaan merupakan pengisi dari kekosongan hukum positif yang belum mengkaji hal-hal tertentu. Hukum adat yang mengandung kajian peraturan dan hukum memiliki upaya penyesuaian yang tak lepas dari latar belakang keagamaan kesukuan, latar belakang pengesahan dari perundang-undangan dan juga keadaan social masyarakat. Sehingga, hukum adat tidak boleh secara tegas bertentangan dengan hukum positif, karena hukum adat pada dasarnya merupakan penyokong dari hukum positif itu sendiri. Berikut beberapa dasar-dasar berlakunya hukum adat :
A.    Dasar berlakunya hukum adat secara Filosofis
Adapun yang dimaksud dasar filosofis dari hukum adat adalah sebenarnya nilai-nilai dan sifat hukum adat tersebut sangat identic dan bahkan terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong-royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari hukum adat.
Dasar berlakunya hukum adat ditinjau dari segi filosofi hukum adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di  Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinandari UUD RI. Pokok-pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cia hukum meliputi hukum Negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pembukaan UUD 1945 pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar Negara adalah Pancasila. Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi hukum adat karena hukum adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup dikalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan cara demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah bangsa Indonesia.
B.     Dasar berlakunya hukum adat secara sosiologis
Hukum yang berlaku di suatu Negara merupakan suatu system artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain. Telah diketahui bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini berada pada masa transisi. Artinya, suatu masa atau periode dimana terjadi pergantian nilai-nilai atau kaidah-kaidah didalam masyarakat yang kehidupannya lebih baik. Dari sudut kebudayaan dan struktur sosialnya, maka masyarakatnya prularistik atau majemuk. Sedangkan dari tatanan hukumnya sedang terjadi peruahan dari tatanan hukum tidak tertulis kepada hukum tertulis. Meskipun eksistensi hukum tidak tertulis tetap hidup dan berkembang disebagian besar masyarakat hukum adat. Aspek pokok yang menyebabkan hukum adat tetap berlaku diantaranya :
1.      Hukum adat menjadi Pembina dalam hukum nasional
2.      Hukum adat sebagai sarana social control
3.      Hukum adat sesuai dengan fungsi hukum, yaitu sebagai alat untuk mengubah masyarakat
Pada masyarakat dengan kebudayaan dan struktur social yang sederhana, maka hukum timbul dan tumbuh sejalan dengan pengalaman warga masyarakat didalam proses interaksi social. Dengan kata lain, hukum merupakan konsolidasi dari keadaan hukum masyarakat. Hukum lebih banyak berfungsi sebagai sarana system pengendalian social, artinya hukum merupakan sarana untuk mengusahakan konformitas warga-warga masyarakat. Didalam sosiologis, masalah kepatuhan terhadap kaidah-kaidah telah menjadi pokok permasalahan, yang pada umumnya menjadi pusat perhatian adalah dasar-dasar dari kepatuhan tersebut. Dengan adanya masalah kepatuhan hukum sebenarnya merupakan masalah nilai-nilai, maka kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.
Hukum adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya pada masyarakat yang mendukung hukum adat tersebut terutama berpangkal pada perasaan keadilannya. Menurut ter haar bahwa didalam mengambil keputusan dalam hukum adat harus dilakukan dengan memperjatikan system hukum, kenyataan social dan perikemanusiaan.
Hukum dan lembaga tradisional ondonesia atau hukum adat merupakan bagian-bagian kehidupan social yang telah  melembaga. Keduanya merupakan factor yang sangat menentukan dalam proses sosialisasi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tatanan modern sudah tercipta namun masih memunculkan dan mempertahankan tatanan adat yang bekerja secara efektif.
C.    Dasar berlakunya hukum adat secara yuridis
Hukum adat merupakan hukum yang hidup dan senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup yang seluruhnya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku. Hukum adat timbul dari masyarakat dan kebanyakan masyarakat hidup dalam system tersebut. Mereka mengetahui, memahami, dam menghargai hukum tersebut. Hukum adat berbeda dengan hukum positif tertulis yang kebanyakan berasal dari belanda, yang merupakan hukum asing bagi masyarakat dengan struktur social dan kebudayaan sederhana tersebut.
Berbeda dengan hukum adat yang berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, hukum positif memiliki sifat elastisitas hukum secara priodikal berubah, sehingga masih diragukan hukum baik yang berbentuk tidak tertulis “Jus Non Scriptum” maupun tertulis “Jus Scriptum” untuk dijadikan salah satu sandaran hukum materiil di Indonesia.
Hukum adat memiliki titik persamaan dengan hukum materiil yang formal Negara, kajian-kajian bahasan peraturan yang mengatur delik adalah sama, meskipun dalam pemberian sanksi berbeda sesuai dengan kehidupan social masyarakat. Hukum adat dan hukum positif menjadi unsur-unsur yang menyusun tata hukum di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Indonesia memiliki warisan berupa tata hukum yang bersifat prularistik, dimana system hukum tradisional berlaku secara berdampingan dengan hukum positif/hukum Negara.
Dasar yuridis yang digunakan sebagai pendasaran dan pengakuan keabsahan hukum adat untuk berlaku ditengah-tengah masyarakat adalah sebagai berikut :
-          Pada masa kedudukan belanda yang menjadi sandaran sebagai : Indische Staatsregeling (IS), system hukum prularism, Pasal 131 ayat (2) point a dan point b
-          Pada masa pendudukan jepang yang menjadi poin penting Pasal 33 UU No.1 Tahun 1942 (7 Maret 1942) isi “Semua badan-badan pemerintah dan kekuasaanya, hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah untuk sementara waktu saja, asal tidak bertentangan dengan peraturan militer”.
-          Pada masa setelah kemerdekaan yang menjadi penguat posisi hukum adat adalah pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Dan Pasal 104 ayat (1) UUDS 1950 yaitu “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan UU dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.
-          Pada masa sekarang yang menjadi dasar hukum adalah Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 25 ayat (1) “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili”. (penjelasannya cukup jelas) dan Pasal 28 ayat (1) “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

KESIMPULAN
Bedasarkan pemaparan mengenai dasar-dasar berlakunya hukum adat diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yang mana hukum adat di Indonesia tersebut memiliki dasar-dasar atau landasan yang dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda, diantaranya dilihat secara filosofis, sosiologis dan secara yuridis. Dasar-dasar berlakunya hukum adat yaitu :
1.      Pancasila merupakan kristalisasi dari hukum adat sehingga nilai-nilai luhur yang terkadung didalam hukum adat sama dengan yang terkandung didalam butir-butir Pancasila.
2.      Hukum adat yang dikondisikan sebagai solusi kekosongan hukum disyaratkan sebagai hukum yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan
3.      Hukum adat memiliki fungsi dan tujuan yang sama dengan hukum positif Indonesia, yaitu untuk keadilan, pengendalian social, dan mengusahakan kesejahteraan sebagai tujuan bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Wali Press, 1983.
Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: PT.Gunug Agung, 1995.
Wiratama, I Gede, Hukum Adat Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2005.

Muhammad, Bushar, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 1977.

Unsur-Unsur Proses Hukum Acara Pidana

  TAHAP PROSES PIDANA DASAR TINDAKAN HAK-HAK TERTUDUH Penahanan sementara oleh polisi ...